“Kala itu, terlintas di pikiran saya sebelum akhirnya saya memutuskan
untuk menjadi guru. Alangkah bahagianya kyai-kyai
itu yang tanpa ia minta santri-santrinya untuk berbakti padanya, justru
santri-santri itulah yang mendekat padanya. Kenapa? Karena kyai dianggap memiliki ilmu. Ketika saya berpikir: ‘Mungkin saat
ini saya masih sehat dan segar, tapi bagaimana bila tiba-tiba saya terkena
stroke, atau ketika tua nanti saya sudah tidak bisa apa-apa?’ di situlah saya
mulai berpikir Dik, bahwa pekerjaan saya saat ini (mungkin) memang yang terbaik
untuk saya, terlepas dari bila itu takdir Tuhan untuk saya. Saat itu saya
bertemu dengan seorang seniman yang ketika muda ia sangat gagah; siapa
perempuan yang kuasa menolak ia? Tapi setelah ia tua, saya melihat ia duduk di
kursi antrean pasien rumah sakit. Ia hanya duduk berdua ditemani istrinya yang
masih cantik. Pemikiran saya terbang pada masa depan yang kita tak tau pasti. Bahwa
saat-saat sekarang ini adalah waktu keemasan untuk menanam investasi
dunia-akhirat. Sebab, kita tak tahu pasti apa yang akan terjadi nanti. Pun bilamana
akhirnya saya memutuskan untuk menjadi
guru, saya tak akan memaksa anak-anak didik saya untuk berbakti kepada saya. Namun,
kita sebagai manusia tak mungkin pernah menghindari satu hal: rasa.”
-Sendang Mulyana, pada perbincangan siang hari di Gedung B1 102-