Minggu, 20 Juli 2014

Catatan Hati Seorang Guru (CHSG)


Alhamdulillah sudah empat semester aku diberikan kesempatan untuk memberikan nilai pada yudisium. Jujur, memberikan nilai adalah hal paling sulit dilakukan di antara serangkaian kegiatan pembelajaran. Bagiku memberikan nilai harus dilakukan seadil-adilnya sedangkan manusia tidak memiliki kapasitas memadai untuk melakukan keadilan dengan sempurna.

“Duh Gusti, kulo mboten pantes mlebet suwargo. Nanging nopo kulo kiyat manggen teng neroko?”
Sekilas terlintas di pikiranku bahwa orang yang paling pantas masuk neraka di sekolah adalah guru. Kenapa? Kadang aku merasa munafik ketika selalu memberikan semangat pada anak didikku tapi aku sendiri bermalas-malasan. Seperti yang Prof Dandan katakan pada kami, “Wahai guru, berhati-hatilah, jangan sampai mengajarkan hal yang salah, nanti akan ada pertanggungjawabannya di akhirat.” Itulah yang seharusnya diketahui para guru agar selalu menggali potensi dirinya.

Sudah dua bulan ini rasanya aku kehilangan semangat dan motivasi. Berat badanku turun, pola tidur kacau, dan rasanya ingin selalu bermalas-malasan. Entahlah, pada saat-saat seperti itu justru Alloh memberikan karunia-Nya yang begitu luas, dan jauh lebih besar dari masalah-masalah yang aku hadapi. Namun, untuk merasakan hal itu memang kita membutuhkan kesabaran dan tentu saja keyakinan. Mungkin benar, manusia terbatas pada usaha, Tuhan-lah yang menentukan segalanya. Esensinya, lakukan apa pun dengan sebaik-baiknya lalu iringilah dengan doa. 

Setiap semester aku membuat catatan harian keaktifan anak-anak didikku, mencatat apa yang mereka lakukan di kelas sebagai nilai harian dan sikap. Begitu juga dalam proses penilaian Ujian Tengah Semester dan Ujian Akhir Semester, baik yang dilakukan secara tertulis maupun lisan, ujian maupun proyek, aku berusaha untuk mengoreksi dengan sebaik-baiknya. Sepertinya hal itulah yang menjadi upayaku untuk memberikan nilai dengan seadil-adilnya –meskipun hasilnya mungkin masih jauh dari kata adil.

Sebuah nasihat dari Pak Ahmad yang beliau adaptasi dari Prof Fathur mungkin bisa menjadi referensi bagi para guru, “Berilah nilai satu tingkat lebih tinggi dari kemampuan anak didik. Bila sepentasnya ia mendapatkan C, berilah BC. Bila ia sepantasnya mendapat B, berilah AB. Anggaplah nilai yang engkau berikan adalah nilai masa depan sebagai jaminan kepercayaan pada mereka. Bahwa engkau meyakini anak-anak didikmu akan menjadi insan yang lebih baik.”

Lalu, seorang anak didikku mengirim pesan ini di facebook-ku. Inilah yang membuat mataku mengembun, bahkan sampai terisak. Saat senjakala, kita memang harus meyakini bahwa esok ia akan terbit. Bagaimana pun keadaan kita, tetap yakini bahwa pertolongan Alloh sungguh amat besar. Terima kasih, sesungguhnya engkau yang berhasil memotivasiku Dik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar