“Ada yang memilih untuk mengalah pada cita-citanya yang sebenarnya lalu menghabiskan masa mudanya di kantor dan mempersiapkan kemapanan. Namun, ada juga yang memilih untuk menghabiskan masa mudanya dengan membela cita-citanya tanpa mempedulikan arti kemapanan pada saat itu. Mana yang benar? Tentu semua benar. Sebab, pada masa postmodernisme ini setiap pilihan manusia adalah hak baginya dalam menjalani kehidupan.”
Pada fase tertentu kata-kata akan dibuktikan, lalu Rendra menyebutnya sebagai perjuangan.
Kesadaran adalah matahari
Kesabaran adalah bumi
Keberanian menjadi cakrawala
Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata
(Rendra, 1984)
Bagaimana aku bisa sampai pada titik ini? Seringkali sebelum tidur, aku ingat-ingat kembali langkah-langkahku, “Oh ternyata aku sudah melewati itu semua, tapi tentu saja jalan masih sangat panjang.” Meski dalam langkah kaki ini seringkali harus kulewati kerikil tajam, bahkan potongan-potongan kaca yang mencabik telapak kaki. Namun tahukah kau, Syafi’i pernah berkata bahwa manisnya hidup akan terasa setelah lelah berjuang. Ya, di situlah aku banyak sekali belajar tentang bersabar dan bersyukur.
Manisnya Hidupku
Setelah satu setengah tahun aku bekerja, jarang sekali aku menulis tentang pekerjaanku di blog atau media sosial. Kenapa? Karena aku membutuhkan waktu yang sangat lama untuk beradaptasi. Sangat tidak mudah untuk berada dan bertahan di sini. Beban kerja, beban psikologis, serta sikap sosial yang menjadi PR berat bagiku saat itu. Tak jarang ketika malam aku menangis, sendiri, lelah... lelah sekali rasanya... tapi justru di situ aku belajar tentang bagaimana mendapatkan kekuatan. Sudah terlalu banyak pengorbanan dan aku tak kan menyerah. Aku tak punya cita-cita apa pun selain mendapatkan ilmu yang banyak di dunia yang luas ini.
Semester kedua aku mengajar dan di akhir semester aku mendapatkan protes besar-besaran dari murid-muridku. Tidak tanggung-tanggung namaku mereka tulis di buletin lokal, dan dijadikan karikatur. Mereka protes atas kebijakan (kami) yang mewajibkan mahasiswa untuk mengirim proposal pada pemerintah. Beberapa proposal mereka ada yang lolos dan mendapatkan pendanaan 6-10 juta rupiah. Kami kira itu adalah langkah yang baik untuk membangun intelektualitas dan pengalaman nyata. Ternyata ada juga yang tidak berkenan karena ketika mereka lolos, mereka wajib untuk melaksanakan program yang mereka tulis di proposal, meskipun mereka sudah mendapatkan dana yang cukup besar bagi ukuran mahasiswa. Kecewa? Awalnya tentu iya. Rasanya seperti kerja yang tidak dihargai, tapi sebenarnya itu adalah pembelajaran yang sangat berarti bagiku untuk lebih bijak dalam mengambil keputusan.
Ternyata tidak semua merasa kecewa, ada juga yang sangat menikmati proses belajarnya sampai-sampai aku mendapat kiriman ‘tanda’ dari kawan SD dengan perjumpaan ‘tidak langsung’ yang juga tak disangka-sangka.
Saat ini kami kembali mewajibkan murid-murid kami untuk menulis buku pelajaran sederhana. Kenapa? Karena kami memiliki impian ketika kelak mereka menjadi guru, mereka bisa membuat buku untuk belajar murid-muridnya. Tidak sedikit yang protes dan menganggap tugas itu terlalu berat. Konon tak ada nahkoda andal yang terlatih oleh ombak yang tak ganas. “Aku berharap suatu saat kalian menjadi penulis buku pelajaran andal yang bisa memberikan manfaat bagi peserta didik kalian, kelak.”
Percayalah, Tuhan serupa dengan prasangka hamba-Nya. Apa yang terjadi pada setiap langkah kita, entah berupa kebahagiaan atau kesedihan, justru itulah yang membangun jati diri kita suatu saat nanti.
Belajar dari Warkop DKI yang mana baik Dono, Kasino, maupun Indro sangat mencintai profesinya. Menurut mereka, profesi adalah hidupnya. Tak hanya pundi-pundi rupiah untuk membeli beras. Namun, ada kebutuhan lain sebagai pelengkap hidup. Kebutuhan itulah yang akan menjadikan hidupnya sempurna sebagai manusia seutuhnya.
Bagiku, hidup adalah sebuah ladang. Ladang untuk menanam investasi dunia maupun akhirat. Lahan untuk menanam amal jariyah dengan memberikan manfaat pada setiap nafas kehidupan. Saat ini aku sungguh sedang belajar bagaimana mencari ketegaran pada pilihan hidup yang sudah diputuskan. Lantas, membangun keyakinan untuk tidak pernah menyesali keputusan itu.
Kutemukan kutipan ini di kulit belakang tugas muridku :) |
Kusuma, 3 Juli 2014
22.25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar