Hidup yang Multilinear (Inspired by Obrolan di Bus)
Pagi ini aku berangkat ke Semarang, ya niatnya sih mau ikut kongres Hima sekalian ngurus beasiswa, eh ternyata pendaftaran beasiswanya dibuka tanggal 8 Februari, capek deh. Tapi gak apa-apa namanya juga perjuangan yo kadang ada asemnya dikit. =D
Hal yang akan aku ceritakan yaitu tentang pertemuanku dengan seseorang yang tidak lain dan tidak bukan seorang dosen sebuah perguruan tinggi di salah satu PTN, kenapa aku berminat untuk menuliskan pengalamanku? Karena aku takut jika suatu saat nanti aku LUPA, padahal kisah hidup yang diceritakannya sangat unik dan langka menurutku.
Mulanya aku hanya diam saja ketika Nusantara melaju dari Purwokerto sampai Wonosobo, nggak bisa tidur pula, sedangkan disampingku ada seorang pria yang usianya sekitar 37 tahun nampak cuek-cuek saja, yaudah aku juga ikutan cuek setelah itu Nusantara berhenti di Rumah Makan Gayatri. Setelah penumpang selesai makan, bus pun kembali melaju. Bapak di sebelahku pun memulai pembicaraan, biasalah basa-basi tanya mau kemana? Mahasiswa atau kerja? Semester berapa? Dan sebagainya. Sebenarnya aku sudah tau kalau beliau ini bukan orang “sembarangan” soalnya waktu beliau berbicara di telepon, aku bisa menilai dari suara dan gaya bicaranya, “Oh, ini orang pintar” dan sempat terlintas bahwa beliau adalah seorang dosen, alasannya : 1) Tasnya kayanya berisi laptop, 2)beliau asik membaca koran. Ahahha memang analisis gila, tapi ternyata TEPAT. Okay langsung aja, singkat cerita kami pun mengobrol dari Wonosobo sampai Semarang dengan tanpa jeda. Yo beruntunglah bapak itu bersebelahan dengan orang cerewet macam aku ini. Selama tiga jam itu aku bisa merangkai mozaik-mozaik cerita beliau menjadi kisah perjalanan hidup yang “berliku” namun “mengasyikan”, cekidot ya...
Beliau adalah orang asli Kudus, dulu sewaktu SMP beliau terkenal sebagai anak yang badung, malas, dan tidak pintar, hal ini dibuktikan dengan prestasinya yang biasa-biasa saja. Di SMP dulu sistem pembagian kelas didasarkan pada tingkat kecerdasan, kelas A adalah kelas yang paling pintar, sedangkan kelas E berisi siswa yang memiliki prestasi paling rendah. Beliau termasuk dalam kelas C, kelas yang paling badung, paling ribut dan memiliki kemampuan yang biasa.
Ketika memasuki SMA, beliau berhasil masuk di SMA paling favorit di Kudus, tetapi rupanya ulah beliau masih sama saja, bahkan lebih parah. Beliau sudah mengenal rokok, kongkow, dan jarang belajar, bahkan sering dikeluarkan oleh guru. Alhasil beliau tidak bisa masuk jurusan Fisika atau Biologi (karena beliau memang sangat cinta terhadap ilmu sosial dan bahasa). Namun keajaiban terjadi, sebuah hal kecil yang menurut beliau ‘sangat menggetarkan hatinya’. Ketika beliau sedang maju dan menulis jawaban di papan tulis, tiba-tiba guru bahasa Inggrisnya mendekat dan mengelus pundaknya, “Nang, koe ki sebenere gak bodo, mung koe ra tau gelem sinau, wis ora usah mbandingke awakmu karo mbakyumu (kakaknya memang juara siswa berprestasi nasional), sing penting koe terus usaha yo nang, koe duwe potensi lan aku yakin koe bisa.” Ucapan itulah yang selalu terngiang-ngiang dan menjadi motivasi hidupnya. Setelah itu beliau menjadi rajin belajar, berhenti merokok, dan kongkow (padahal sudah kelas 3 semester 1).
Waktu itu pendaftaran universitas pun tiba, keluarga menginginkan beliau untuk mendaftar di UGM dan UNS, alhasil beliau diterima di UNS, tapi waktu itu keluarga memaksa beliau untuk mendaftar STAN. Akhirnya beliau diterima di sekolah kedinasan itu. Setelah tiga bulan hidup di Jakarta dan menjadi mahasiswa STAN rupanya beliau merasa tidak betah, beliau merasa tidak tertantang sama sekali (yaelahhh Pak, =,= ). Beliau memutuskan untuk tidak pernah berangkat kuliah, akhirnya pihak keluarga pun tahu dan marah besar tapi beliau terus berpegang pada pendiriannya. Satu tahun berlalu dan beliau akhirnya menjadi mahasiswa UNPAD jurusan manajemen komunikasi (kalau gak salah). Kuliah pun beliau masih slengekan, namun beliau menjadi aktivis kampus, ikut berbagai kegiatan, aktivis rohis dan menjadi ketua Hima.
Suatu ketika, beliau yang merupakan penggerak dakwah kampus ditawari untuk “menikah” dan beliau menyetujuinya. Beliau diperkenalkan dengan seorang ukhti dari UPI oleh Pak Ustadz, selang 16 hari kemudian resmilah mereka menjadi suami istri. Padahal waktu itu beliau masih semester 6 (sama kaya aku),. Satu tahun mereka pisah rumah, karena beliau tak mampu menyewa sebuah kontrakan. Beliau yang memang sudah bekerja part time, optimis bahwa beliau mampu menafkahi sang istri. Keluarga mulanya ada yang mendukung ada juga yang tidak, teman-teman pun kaget, meraka berpikir yang bukan-bukan, tapi beliau membuktikan bahwa dia menikah karena ibadah. Salah satu ucapan yang membuatku terbelalak, “Untuk apa berpacaran yang tidak jelas, jika toh akhirnya tak menjadi istri saya.”
Beberapa waktu kemudian setelah beliau lulus, beliau melancong ke Purwokerto untuk melamar menjadi dosen (dengan peristiwa yang tak terduga) ternyata beliau diterima. Singkat cerita akhirnya beliau mendapat beasiswa S2 di IPB dan S3 di UNPAD, sebenarnya beliau mendapat beasiswa di Inggris tapi karena suatu hal akhirnya keberangkatan beliau digagalkan.
Wooooow, magic banget subhanallah rencana Allah ternyata jauh lebih indah daripada rencana manusia. Kemudian beliau bertanya, “Nah, adek sudah punya pacar?” kujawab, “He, belum Pak, mau konsen kuliah dulu, mau bahagiain orang tua dulu.” Kemudian beliau menjawab, “Oh, berarti pikiran Adek itu step by step dan linear ya, artinya setelah target A selesai, baru melaksanakan target B, bagaimana kalau ternyata Adek dapat membahagiakan orang tua dan hidup mapan ketika usia Adek 37 tahun? Soalnya saya punya teman perempuan, dia pintar dan kaya tapi usianya sudah 37 tahun, akhirnya dia menikah juga, tapi bukan karena keinginannya, menikah baginya hanya berupa sebuah kewajiban yang harus dijalani manusia pada umumnya. Karena saya nikah muda, anak saya sudah SMP sekarang, bayangkan saja jika saya sudah pensiun dan anak pertama saya masih berusia 20 tahun, lalu pendidikannya bagaimana? Ya kalau saya sudah punya investasi buat masa depan, kalau belum?” aku hanya diam saja, speechless (Yaiyalah lulusan S3 lawan lulusabn SMA)ngrasa BODO BANGET.
“Hidup itu bisa multilinear artinya dalam satu waktu bisa menjalankan beberapa target, buktinya dulu saya aktivis, menikah, dan bekerja, semua bisa saya lalui dengan baik.”
Aku yang hanya diam sebenarnya juga berpikir. Yaiyalah, itu kan beliau yang sangat PINTAR, bayangin aja jika seorang amahsiswa dengan kemampuan biasa saja harus bekerja, punya anak, dan belajar, jadinya malah bubar semua. Artinya, SEGALA HAL YANG AKAN KITA LAKUKAN HARUS MENGUKUR KOMPETENSI DAN KAPASITAS DIRI. Tapi semua cerita beliau membuatku sadar bahwa jalan hidup tak selamanya harus sempurna dan mulus. Ada kalanya kita harus menemui kegagalan, uji mental, dan cobaan-cobaan hidup. Namun apabila kita bertekad kuat dan yakin bahwa kita MAMPU, why not?
Oh iya, ada yang lucu nih. Aku tadi curhat dikit tentang kebingunganku milih mata kuliah pilihan yang menurutku penting semua, tiba-tiba beliau menyarankan untuk mengambil semua mata kuliah itu. “Ya gak mungkin dong Pak, masa saya ambil 26 SKS.” Tapi apa jawaban beliau? “Ikut kuliah kan gak harus ambil SKS to? Kamu tinggal ikut kuliahnya aja, kamu dapat ilmu, malah gak usah ngerjain tugas dan ujian, ya kan?” wahhh bener juga tuh, kan yang penting ilmunya ya? Lalu aku jawab, “Itu sih hal gila Pak, masa ikut kuliah tapi tidak terdaftar.” Beliau jawab, “Itu bukan hal gila, tapi keinginan menuntut ilmu.” :’)
Harus selalu optimis, karena “we are what we think”. Terima kasih sudah memberikan pelajaran hidup Pak.
Semarang, 25 Januari 2011
16.43
luar biasa sekali cerita dosen tsb...
BalasHapusckckcck.. hebat2.. multilinear ya?? hmm.. pasti bisa...!!
dalam satu waktu, semua tujuan tercapai =)
BalasHapusTernyata hipotesa saya terbukti dalam cerita Ini..
BalasHapus"Anak yang ketrima STAN punya Inner Smart" (kecuali saya mungkin) hahaha
Seandainya saya ceritakan pengalaman saya disini, 7 hari 7 malam air mata tak akan berhenti menetes....
Saya juga alumni STAN
pemerhatitimnas@gmail.com