Source |
Beda Egois dan Realistis?
Sadar atau tidak, makin tua manusia makin egois,
entahlah apa itu hanya perasaanku saja. Aku pun tak begitu paham apa beda
antara realistis dan egois. Setahuku egois itu mementingkan diri sendiri,
sedangkan realistis adalah bersifat nyata, misalnya dengan mengambil keputusan
yang tidak merugikan diri sendiri. Mungkin terlihat sangat bodoh, yaaa aku
begitu paham perbedaan di antara keduanya.
Dulu ketika aku duduk di bangku Taman Kanak-Kanak
guru TK ku berkata bahwa, jika ada pengemis minta-minta maka berilah ia uang.
Selanjutnya, waktu aku naik ke Sekolah Dasar, guru SD ku berkata bahwa jika
kamu naik bus dan ternyata ada orang tua, wanita hamil, atau anak kecil yang tidak
mendapat tempat duduk maka berikanlah tempat duduk. Rupanya doktrin
kebaikan-kebaikan itu masih melekat kuat di pikiranku sampai aku duduk di
bangku SMA. Dulu ketika aku naik bus, aku selalu memberikan tempat dudukku pada
ibu-ibu, anak kecil atau siapa pun yang terlihat lebih lemah dari aku, dan apa
yang aku rasakan? Semua terasa baik-baik saja, apalagi ketika mereka bilang, “Makasih
mbak.” Wuiiih rasanyaaaa ada kebanggaan tersendiri. Apalagi ketika ada
pengemis, pasti aku kasih duit. Tapi, seringkali ada berita di TV bahwa
beberapa pengemis adalah oknum bahkan aslinya mereka kaya raya. Hmm. . .sekarang
pikir-pikir dulu deh kalau mau ngasih.
Ketika Semua Itu Mulai Luntur
Aku sangat merasakan bahwa makin tua kita makin
menimbang antara untung dan rugi. Jika kita berbuat ini, apa akibatnya bagi
kita? Apa untungnya untuk kita? Apa ruginya untuk kita. Kebanyakan mikir,
kebanyakan teori malah membuat kita nggak segera bertindak.
Aku adalah orang yang sangat sering naik bus kota,
berdiri selama 1-2 jam di bus karena tak dapat tempat duduk pun sudah sering
aku rasakan. Bahkan kadang berpikir ketika aku membawa banyak barang bawaan dan
aku tak mendapat tempat duduk, kenapa
lelaki kekar itu tak memberikan tempat duduk untukku? Padahal secara logika
dia akan lebih kuat berdiri daripada aku. Apakah semua orang egois? Setelah
itu, aku pun terbiasa berdiri di dalam bus jika tak mendapat tempat duduk, aku
telah terbiasa, tak merasa sengsara dan menganggap bahwa ini adalah resiko naik
bus kota.
Pemikiran “berdiri di dalam bus adalah hal yang
biasa” ternyata mulai melekat di pikiranku. Apalagi ketika aku naik bus yang
menempuh jarak jauh, berdiri adalah hal yang menyebalkan. Rupanya itulah yang
menjadi inti kegalauan dalam benakku. Di satu sisi aku berpikir bahwa “aku akan
menempuh jarak jauh, dan akan sangat capai jika aku memberikan tempat dudukku
pada orang lain, sedangkan ketika aku tak mendapat tempat duduk, mereka pun tak
memberikan tempat duduk bagiku tapi aku merasa baik-baik saja.” Aku pun menjadi
orang yang sangat jarang memberikan tempat dudukku pada orang lain.
Kejadian dua hari yang lalu, saat aku naik bus
kota tatkala arus mudik tiba. Momen mendapat tempat duduk pun menjadi hal yang
cukup susah apalagi harus menunggu bus selama satu jam di terminal. Hingga akhirnya
seorang wanita hamil naik di bus kami, kurang lebih setelah aku menempuh
perjalanan selama 10 menit. Dia tak mendapat tempat duduk dan dia berdiri di
depanku. Saat itu pengamen-pengamen sedang mendendangkan lagunya yang cukup
memekakkan telinga, penumpang yang lain pun berjejal, sungguh sangat tak
kondusif.
Galau dan galau hanya itu yang ada di pikiranku,
saat aku mencoba berpikir realistis bagi diriku sendiri. Perjalanan menuju
rumahku masih 45 menit, dan seharian tadi aku sangat lelah, aku butuh tempat
duduk. Aku pun teringat ucapan temanku bahwa banyak sekali copet di dalam bus,
apalagi kalau kita berdiri akan lebih rawan dan bisa jadi sasaran empuk bagi
pencopet. Aku pun memandang wanita hamil itu. Wajahnya sengak, mahal senyum
bahkan pada suaminya pun dia memasang wajah cemberut. Iiish, apaan sih itu kan bukan urusanku. Aaah tapi kasihan juga,
sepertinya dia sedang hamil 7 bulan, perutnya sudah cukup besar. Eiiits kenapa tidak bapak di sampingku
atau mas-mas di depanku saja yang harus mengalah, mereka kan lebih kuat, atau
jangan-jangan mereka juga berpikir sama sepertiku? Aaaaaaah! Baiklah aku akan
memberikan tempat dudukku tapi setelah pengamen itu pergi karena aku sangat
tidak suka didesak-desak oleh pengamen di atas bus. Daaan ternyata beberapa
detik kemudian seorang lelaki di depanku memberikan tempat duduk pada wanita
hamil itu, Alhamdulillah.
Kok Alhamdulillah?
Bukankah kamu baru saja kehilangan satu kali kesempatan untuk beramal? Bukankah
berarti kamu kalah cepat? Bukankah kamu baru saja berpikir realistis? Atau kamu
adalah orang yang egois?
Tatkala hidup hanya menimbang untung dan rugi,
apakah itu realistis? Makin tua makin egois atau realistis? Padahal sejatinya
setiap hal yang dilakukan dengan ikhlas pastinya akan berbuah manis. Jika hanya
berpikir untung dan rugi saja untuk urusan duniawi berarti kita telah lupa
bahwa Tuhan Maha Melihat dan Maha Tahu. Aaaaah.
. .aku masih belum menemukan jawabannya.
Manusia memiliki batasan, kadang kita memang tak bertindak seperti keinginan nurani kita dan itu menimbulkan penyesalan. mengikuti hati nurani kadang memang berat, apalagi ketika itu berhadapan dengan "otak" kita. dulu guru biologi ku SMP pernah bilang "jika kita melakukan hal yang tidak sesuai dengan nurani kita, hati kecil kita pasti berteriak, ada yang mengganjal disitu." Para penjahat pun seperti itu, mereka punya nurani, tapi ntah apa keinginan otak mereka lebih berkuasa atau tidak. Sekarang tinggal bagaimana kita memilih. Ketika kita masih anak-anak pemikiran kita sederhana, penuh impian tidak sekotor, sepicik pikiran orang dewasa. Untuk itulah peterpan takut menjadi dewasa, pemikiran yang dewasa mungkin bijaksana, tapi pikiran anak-anak jauh lebih bersih.
BalasHapusKetika perjalanan mudik kmrn q jg mngalami hal yg hmpir sama. Naik bus, berdesak2an. Setelah 2 dari 4 jam perjalanan q, akhirnya q dpt tempat duduk. tak berapa lama, naik lah seorang ibu menggendong balita yg sdg menangis, terlihat begitu repot ketika hrs menenangkan balitanya seraya sesekali membetulkan tasnya di bahu. Haruskah q berikan tempat duduk q ini, sedangkan q br mnikmatinya sesaat? sedangkan q msh separuh jalan? sedangkan q amat lelah? Yap, q putuskan utk memberikan tempat duduk q kpd ibu dan balitanya itu. Huft, berdiri lagi, berdesak2an lagi, tambah capek. Q sebel bgd krn kernet bus itu mndesak2 penumpang utk smakin merapat, utk bs diseseli olh penumpang lain. Aku semakin terhimpit penumpang lain, semakin jauh dr tas q, tas yg q letakkan d bwh bekas tempat duduk q td. Rasa was2 ada, tp bgmna lg. Tiba2 seorang gadis yg duduk di kursi tempat q bersandar menawarkan tempaat duduknya kepada q. Q bertanya2, knp dy mmberikan tmpat duduknya, pdhal q jg tak terlihat lemah, q jg tak lbh tua darinya. Oh ternyata dia ingin berdiri krn ign menemani kekasihnya yg tak kebagian tempat duduk. Hha, akhirnya bs duduk tanpa hrs merasa bersalah tak memberikan kursi q kpd ibu dan balitanya tadi.
BalasHapusIni tulisan bagus seandainya beberapa kalimat yang nggak perlu diedit dikit. Hayo sarjana bahasa kok suka bikin tuisan nggak terstruktur sih :P
BalasHapusAku sering mengalami hal kecil macam begini tapi belum pernah nyangkut di pikiran. Selamat Min, kamu memberi sedikit pemikiran padaku. Hihi.
BalasHapusmeina jahaaaaatt huuuuurrgghh!! *bandem!*
BalasHapusnanti kamu akan merasakan ya neng, bahwa bukan lelah berdiri yang ibu itu pikirkan, sungguh pasti lebih dari itu, nyawa satu manusia yang Alloh titipkan ke dia..
iya, menjadi ibu hamil lelah berdiri di bis bener2 hal yang sangat kecil, tapi kekhawatiran akan guncangan ketika dia berdiri, atau efek bagi bayinya ketika dia lelah, atau senggolan dari orang lain ke perut yang berisi bayinya itu yang ada di benak si ibu hamil..
jadi kalo km cuma mikir sedangkal "aku kan capek" dan sebagainya... gosh.. jauuuh sekali..
seandainya agama hanya sebatas apakah Alloh akan menghukumku atau memberiku ganjaran, kamu baru memeluk agama,agama belum memelukmu..
lakukan bukan karena pak Ustadz pernah bilang begini dan begitu, lakukan karena memang kamu harus melakukanya.