Hari ini adalah hari (hampir) terakhir aku akan
mengakhiri liburan panjangku yang begitu panjang. Besok aku akan melaksanakan matrikulasi
program pascasarjana. Kampusnya masih sama dengan kampusku ketika S-1. Yah,
besok pasti aku akan bertemu dengan teman-temanku di kampus. Well, pasti akan banyak sekali komentar
di sana. Salah satunya kenapa memilih bertahan di Unnes?
Mungkin sebagian orang menganggap bahwa catatan
ini adalah sampah yang nggak berguna. Tapi mungkin bisa dijadikan pertimbangan bagi
orang-orang yang pernah merasakan “salah jurusan” seperti yang pernah aku alami
empat tahun silam.
Tentang Cita-cita
“Manusia yang
tak punya cita-cita atau tujuan hidup lebih baik mati saja. Manusia yang takut
menghadapi peliknya hidup lebih baik mati saja.” Begitulah kira-kira yang
pernah dikatakan oleh kakak tingkatku.
Diakui atau tidak kuliah di pendidikan apalagi
jurusan Sastra atau Bahasa dan Sastra Indonesia dianggap sebagai jurusan
pelarian setelah tidak diterima di mana pun, right? Kenapa aku memilih jurusan ini? Dulu ketika kelas XII aku
ingin sekali menjadi guru, tapi di lain pihak, aku adalah seorang anak yang
harus menaati nasihat orang tua. Termasuk ketika aku memilih untuk masuk IPA,
padahal ketika lulus aku tidak mau sama sekali masuk kuliah di jurusan IPA.
Alhasil aku selalu ikut seleksi lewat jalur IPS. Aku daftar ke sana-kemari dan
tidak diterima di mana-mana. Hingga akhirnya pilihan terakhirku yakni jalur
SNMPTN, aku masih bertekad ingin masuk Jurusan Bahasa Inggris, tapi temanku
menyarankan, kenapa nggak masuk Jurusan
Bahasa Indonesia? entah kenapa tiba-tiba aku menulisnya di formulir
pendaftaran (hohoho).
Ternyata nasib memang membawaku di sini. Awal mula
kuliah sangat nggak banget, IP pun di
bawah rata-rata. Namun, seorang Bu Uum, dosenku memberikan pencerahan pada
kami.
“Kenapa harus malu kuliah di Jurusan Bahasa
Indonesia? ketika saya bertanya pada mahasiswa, jurusan apa? Jarang sekali yang
menjawab dengan lantang dan bangga. Yang ada mereka hanya menjawab jurusan
bahasa dan sastra, kenapa harus malu belajar bahasa sendiri?”
Waooow, pukulan itu masih terasa benar di
jantungku.
Pembuktian Diri
Semenjak mendengar nasihat itu, tujuan hidupku
berubah. Aku yang dulu hanya beranggapan bahwa kuliah adalah cara untuk
menghabiskan waktu luang, kini tidak lagi. Aku mulai belajar dan belajar, IP
membaik dan akhirnya bisa lulus 7 semester dengan mendapat peringkat kedua. Yah
peringkat kedua dengan selisih nilai 0,01 dengan peringkat pertama. Kadang masih
suka mengutuk diri, kenapa aku nggak niat
kuliah dari dulu? Tapi yang namanya penyesalan itu kan tidak pernah datang
tepat waktu hehe.
Lagi-lagi Bu Uum menginspirasiku. Ternyata ketika kuliah beliau pun tidak menjadi
lulusan terbaik tapi ketika S-2 dia bertekad untuk menjadi lulusan terbaik, dan
man jadda wajada, harapannya jadi
kenyataan.
Untuk membuat sebuah jurusan yang underestimated menjadi sebuah jurusan
yang high class memang tidak mudah,
apalagi kami tidak memberikan jaminan apa pun. Yang dibutuhkan hanyalah
pembuktian-pembuktian. Tidak usah berpusing-pusing ria mengurusi hal yang tidak
perlu untuk diurusi, pembuktian akan lebih mengena daripada terus mengoceh
sampai berbusa. Mari bekerja keras, berpikir cerdas, dan berhati ikhlas.
Kenapa Aku Memilih Unnes?
Kalau jawaban atas pertanyaan ini sih pure curhat, nggak apa-apa lah ya,
syukur sih ada yang baca kalau nggak ada yang baca ya aku baca sendiri, heuheu.
Kenapa milih unnes? Wah ini sih aku putuskan
setelah mengalami kegalauan dan deraian air mata selama sebulan. Tadinya sempet
optimis banget mau ngajuin Beasiswa Unggulan, dan keterima (gubrag). Ternyata oh ternyata tahun ini
jurusanku tidak diploting dalam beasiswa tersebut. Padahal segala cara sudah
aku tempuh, ngadep Kajur, ngadep Dekan, ngadep PR 1, silaturahim ke rumah
dosen, cuma buat dapat pencerahan. Dan hasilnya? Dapat aku simpulkan untuk Pascasarjana
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, universitas terbaik adalah Universitas
Negeri Malang, biasanya lulusannya banyak yang kerja di pusat, di Malang yang
terkenal paling baik (dijamin kata Kajurku). Universitas Pendidikan Indonesia
dan Universitas Negeri Jakarta, lulusannya banyak juga kerja di pusat tapi
kalau UNJ jaringan lebih luas karena berada di ibu kota negara.
Perjuanganku belum juga selesai aku bahkan pergi ke
Pasca Undip, Pasca UNS, dan telepon Kajur Pasca UNY, hehe. Dan simpulannya
adalah Unnes, UNS, UNY boleh dibilang setara, tapi UNY baru ada pendidikan linguistik.
Biaya di UNS paling murah di antara semuanya. Lulusan ketiga universitas ini biasanya
jadi orang lapangan. Trus kenapa nggak milih UNS? Hmm. . .aku ngukur kemampuan
dirilah. Di Unnes aku sudah dikenal beberapa dosen, juga karena alasan “aku
susah menghapal jalan” nggak kebayang kalau harus mulai dari nol lagi. Alasan lain?
Karena aku ingin bekerja.
Trus kenapa nggak ambil Undip atau UGM? Huwaaa,
sebenarnya kalau aku ambil ilmu susastra, peluang beasiswa masih terbuka lebar,
tapi inilah yang dinamakan idealisme. Aku ingin menjadi ahli dibidang
pengajaran (hoeks ha ha ha). Apa sih yang bisa dibanggakan dari seorang manusia
selain idealismenya?
Kemarin sore sempet nelangsa tidak sengaja mendengar obrolan kedua orang tuaku, yaaah
April 2014 aku akan wisuda sebagai lulusan terbaik. Aku akan bekerja untuk
menghidupi diriku. Sadar Min, kamu bukan anak pejabat :) Mungkin perjuangan
hidupku baru akan dimulai saat ini. Butuh kemandirian, kerja keras, dan doa
yang ekstra untuk menghadapi semua ini. Harus tetap semangat!
Kemarin sempet galau juga, mau ikut CPNS atau
nggak. Tapi gara-gara kemarin lihat 3
Idiots (untuk kesekian kalinya), si Rancho ternyata menjadi ilmuwan yang
juga guru, waow keren yah (mupeng). Kalau kata orang sih ya sesuatu yang besar datang dari mimpi yang
besar, kalau kata Mbah Mario sih untuk
apa tanggung-tanggung minta sesuatu ke Allah, minta yang banyak sekalian, trus
kalau kata Film Korea sih Dream High! Yuppi,
kita harus berani bermimpi besar. AKU MAU BIKIN SEKOLAH loooh, DUERRRR! Ha ha
ha. Allohumma Aamiin.
source |
aku dulu juga nyesel masuk unnes, bahkan sampai sekarang mbak hahaha :p
BalasHapus