Sabtu, 11 September 2010

Adakah Keadilan di Bumi Ini?

Curahan hati dari seorang yang merasa bahwa tak ada lagi goresan tinta keadilan di atas kertas ketulusan di bumi nusantara (yang katanya gemah ripah loh jinawi).

“Aku adalah seorang Bapak, dulu ketika tahun 1993 anakku meninggal dunia. Matinya tidak wajar. Dia tertabrak mobil. Waktu itu umurnya baru tiga belas. Ia sedang berjalan di trotoar, tiba-tiba sebuah mobil mewah menabraknya dan anakku mati seketika. Sang empunya mobil tak menggubris apa yang terjadi, beruntung ada saksi mata yang mencatat plat mobil “sang pembunuh” itu. Setelah diusut betapa terkejutnya aku karena dia adalah salah satu personel aparat negara. Anehnya ketika aku mengusut kasus ini semua serba dipersulit. Hingga akhirnya kasus anakku ini sampai di meja hijau dan aku kalah dalam persidangan itu. Hatiku belum puas, pada tahun 2004 aku kembali mengangkat kasus anakku, tapi kecewa kembali menghinggapi hati ini, ya mayat-mayat hidup di pengadilan itu menilai bahwa kasus anakku “sudah kadaluarsa”. Hmmm… apakah nyawa anakku tak ada artinya? Hey, anakku bukan binatang yang bisa disembelih kapan saja, bangkainya bisa dibuang seenaknya dan nyawanya dianggap tidak berharga. Apakah perlu aku berjalan kaki dari Malang menuju istana negara hanya demi menemui sang penguasa? Aku hanya ingin mengadukan nasibku, nasib orang kecil yang tak punya daya apa-apa. Dan itulah yang telah kulakukan, lebih dari 20 hari aku terus berjalan dan menapakan kakiku menuju sebuah bangunan yang mereka bilang sebagai “istana”, padahal bagiku istana itu berisi raja, ratu atau bidadari yang berhati malaikat. Tapi apa dikata peluh di keningku, lecet di kakiku dan kulitku yang sudah seperti arang karena tersengat matahari, rupanya tak membuat mereka iba. Mereka bilang bahwa “sang raja” sedang sibuk, sedang akan istirahat dan tidak bisa diganggu. Aku hanya bisa diam, aku mengerti bahwa mereka orang besar, mereka sibuk mengurus negara, tapi apakah aku bukan bagian dari negara itu? Aku tak bisa marah, aku pun hanya bisa menangis. Aku berlari dan terus berlari hingga aku bertemu sebuah patung, patung seekor gorila yang menggendong anaknya. Dia terus terdiam dan aku bisa berteriak sesuka hatiku. Aku bisa menumpahkan segala rasa ini. Aku merasa bahwa patung itu jauh lebih baik daripada zombi yang duduk di atas sana yang tak mau mendengar isak orang kecil, bahkan menutup mata ketika aku menangis, menutup telinga ketika kumengadu. Aku memang buta, buta bahwa mereka sudah mati, aku memang tuli yang tak bisa mendengar bahwa mereka adalah mayat, aku pun tak bisa mencium bau busuk mereka dan aku tahu bahwa anakku masih hidup. Hidup di bumi keadilan, kehidupan yang menjunjung tinggi keadilan, sedangkan mereka sudah mati.”

Banyak orang yang mengeluh bahwa hidup ini tidak adil, orang-orang di sekitar dianggap tak mau tahu dan tak tahu malu. Tapi ada satu hal yang terlupakan bahwa ada hakim yang paling baik di antara semua hakim dan paling adil dibanding semua keadilan. Walaupun tidak mendapat keadilan di dunia, tak mendapat rasa puas karena kebenaran yang semakin renta digerogoti kerakusan, anggap saja sebagai cobaan dalam hidup dan harus selalu kita ingat bahwa hidup ini tak untuk sementara. Bersihkan hati, kuatkan diri, tekadkan niat dengan pondasi iman, karena iman adalah obat hati paling mujarab. Tetap perjuangkan keadilan di dunia ini, yakin bahwa keadilan masih “hidup” walau keadilan itu akan terwujud di dunia yang berbeda.

“Bukankah kami telah melapangkan untukmu dadamu? Dan kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu? Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu, karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.”

Ajibarang, 7 september 2010
12.27 PM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar