Hanya sebuah cerita aneh dan tidak penting
Hari ini benar-benar spesial bagiku, mungkin
beberapa orang menganggapnya lebay, tapi tak apalah. Hari ini aku tak mudah
untuk berhenti tersenyum bahkan, camera
digital itu aku bawa waktu kuliah dan aku pamerkan pada teman kuliahku
bahwa aku baru saja bertemu dengan idolaku, salah satu orang yang
menginspirasiku untuk bermimpi, beliau adalah A. Fuadi penulis Negeri 5 Menara
dan Ranah 3 Warna.
Bermula dari pesan singkat dari Diana temanku yang
memberitahu bahwa besok A. Fuadi akan menjadi pembicara pada “Penyambutan
Mahasiswa Baru FMIPA” katanya kalau aku berkenan datang saja karena acara itu
terbuka untuk umum. Mulanya agak tidak berminat, apalagi malam itu pesan dari
Diana terputus karena sebagian teks hilang. Aku malah membalas sekadarnyasaja
lalu lebih memilih untuk menarik selimut dan segera tertidur. Rupanya insomniaku
kambuh, aku tak mudah terlelap dan kepalaku malah makin pusing, tipis harapanku
untuk melihat A. Fuadi, rasanya malas sekali.
Pagi pun menjelang, aku salat subuh dan tidur
lagi, bukan karena apa-apa tapi karena aku baru tidur beberapa jam dan rasanya
masih pusing sekali. Akhirnya aku terbangun pukul 08.45, sungguh bukan waktu
yang pagi lagi, segera saja aku raih hand
phoneku dan aku bertanya pada Diana, kapan acara dimulai? Rupanya semua
sudah siap, acara dimulai setengah jam lagi di Auditorium. Alamaaak, bagaimana ini aku belum mandi, belum makan, belum
siap-siap pula. Ah, tapi kapan lagi aku bisa melihat orang yang menginspirasiku
dengan mantranya dan sepertinya A. Fuadi juga terinspirasi dengan syair-syair
Imam Syafi’i yang sesungguhnya juga aku kagumi, kapan lagi aku dapat
kesempatan?
Saat itu segera saja aku raih handukku, aku
berlari menuju kamar mandi, rupanya persediaan air habis, aku pindah ke kamar
mandi sebelah ternyata dipakai, aku pun berlari turun dari lantai 2 untuk
mencari kamar mandi kosong dan untung ada satu kamar kosong, padahal jika tak
ada yang kosong aku berencana hanya gosok gigi dan cuci muka, hahaha. Akhirnya segala
ritual pagi yang biasa aku lakukan selama satu jam dapat aku singkat menjadi 15
menit, tentu saja acara makan pagi dan mendengarkan dangdut koplo sudah aku
skip. Aku pun mengambil kamera, membongkar lemari, mengacak-acaknya dan jeng jeng jeng tiba-tiba aku memilih
baju model baby doll alay dan
dipadankan dengan kerudung berwarna oranye nge-Jreng (Kemudian baru nyadar kalo
sudah terlalu banyak foto dengan memakai kerudung oranye). Setelah itu aku mengendarai
sepeda motorku dan segera menuju Auditorium, tapi dasar Meina versi belum
sarapan, aku malah salah parkir, pikiran memang ke Auditorium tapi malah parkir
di perpustakaan (mungkin gara-gara masih ada bayang-bayang skripsi, oh nooo). Karena salah parkir aku pun harus
berlari menuju Auditorium dengan gaya semi cool
dan tetap menjaga kecantikan karena banyak mahasiswa bule ganteng yang
bertebaran di sana (Astaghfirullah,
zina mata ;p ).
Aku sudah tak sempat lagi melihat jam di handphoneku, apalagi memindah sepeda
motor ke tempat parkiran Auditorium. Dengan napas tersengal-sengal aku pun
berhenti di depan Auditorium. Semula aku mengira acaranya sangat formal, bahkan
aku sudah menyiapkan skenario bahwa aku adalah teman dari Diana Purwaningrum
yang juga diundang dalam acara itu, padahal sebenarnya aku adalah penyusup. Perlu
diketahui bahwa hari itu Diana menggantikan Mbak Ryan untuk menjadi moderator
A. Fuadi, oh betapa beruntungnya kamu Di. Ternyata sangat mudah untuk masuk
dalam acara itu, dan Alhamdulillah aku berhasil mendapat tempat duduk yang
sangat strategis untuk minggat yaitu di barisan paling belakang.
Ketika aku datang ternyata acara baru dimulai dan
selama Bang Fuadi menyampaikan materinya, aku hanya bisa melongo, tercengang,
terharu, pengin nangis, ah pokoknya lebay deh. Aku tak pernah lepas dari pena
dan bukuku, tiap kata penting yang terucap aku catat dan renungkan. Selama 60
menit itu benar-benar dahsyat karena konsep dari beliau memang sangat sesuai
dengan cara berpikirku. Dan sebenarnya selama 60 menit itu aku juga memikirkan
cara agar bisa foto bareng. Perlu diketahui kalau saat ini aku sedang memiliki
hobi baru yaitu foto dengan idolaku, hehe. Karena ini adalah acara penyambutan
mahasiswa baru, aku yakin tidak bakal ada acara foto bareng karena setelah ini
pasti masih banyak agenda. Bagaimana ya
caranya?
Aha, kalau masalah akal busuk sih Meina ahlinya. Dengan
wajah culun aku bertanya pada panitia.
“Mbak, ruang transit pembicara di mana ya?”
“Oh di sayap kanan auditorium Mbak.”
Wuih, jujur amat panitianya, nggak tahu ya aku punya rencana hebat. Sebelum
A. Fuadi menutup acaranya, aku sudah berkemas dan bersiap, aku harus memastikan
bahwa aku akan melakukan serangan. Setelah kupastikan A. Fuadi keluar dari gedung, aku pun segera mengambil
langkah seribu. Lagi-lagi aku berlari dan mengintai beliau dari jauh, aku
melihat Diana di sampingnya. Segera aku ambil hand phone dan menelpon Diana tapi selalu disconnect. Aku mengamati dari jauh, rupanya ada beberapa orang
yang ingin masuk ruang transit tapi panitia telah membuat pagar betis (lebay
banget). Wah caranya gimana nih ya biar
bisa foto bareng? Ahaaa, aku mau pura-pura lewat aja.
Dengan gaya sok cool aku pun pura-pura lewat, aku melihat Diana dan Diana pun
melihatku, aku memberikan kode bahwa aku akan masuk, Diana datang menjemputku
dan panitia tak berani berkutik hahahaha.
“Din, foto bareng sama Bang Fuadi yukkk laaah.”
“Ayukk, ayuuuk.” Jawab Diana dengan sangat antusias dan ekspresif.
Diana sebenarnya bukan orang yang alay dan banci foto, tapi aku yakin gara-gara
ajakanku kemudian dia jadi khilaf, maaf ya Di. “Sekalian book signing ya?”
“Di, aku nggak punya bukunya, dulu cuma pinjam hahaha,” jawabku dengan
tampak nggak modal model ibu-ibu nawar harga sayuran di Pasar Johar.
Wah ini adalah adegan yang paling romantis dan perlu
di slow motion. Akhirnya aku dapat
melihat dengan sangat jelas wajah penulis idolaku, wajah orang yang
menginspirasiku, aaah. . .jujur deg-degan banget.
“Bang boleh foto bareng?”
“Oh boleh,” jawab Bang Fuadi ramah.
“Ini temen saya Bang, dia ngefans banget sama Abang,” sambung Diana.
Sumpah ini anak bikin aku malu banget.
“Beneran? Wah makasih ya,” sambung Bang Fuadi.
“Hehehe, iya,” jawabku malu-malu, sambil senyum-senyum tidak jelas,
padahal salah tingkah. “Ehm tadi, saya sudah mention abang loh, nama saya at
Meinafebri,” sambung aku dengan super percaya diri, kemudian cekikikan sendiri
tidak jelas.
“Oh ya, kok belum masuk ya? Ya sudah nanti saya cek lagi.”
Mungkin ini bagian yang paling memalukan,
sebenarnya dari dulu aku menderita penyakit antah-berantah, tapi kata
teman-teman ini seperti Parkinson (na’udzubillahimindzalik) jadi tangan
atau kaki bahkan lidah aku kadang suka bergerak sendiri kalau dalam bahasa Jawa
namanya buyuten kalau bahasa Indonesia
namanya gemetar, kata teman-teman sih mungkin faktor usia (Wasyeeem yo Ndes). Jadi ceritanya Diana memintaku untuk memotret
dia dengan Bang Fuadi dan apa yang terjadi, tangan aku gemetar dengan sangat
dahsyatnya, sampai aku maluuuu, maluuu sekali takut dikira grogi banget,
selanjutnya…..ah tak usah diceritakan, isin
aku.
Aku langsung minta izin Diana untuk pulang, bukan
karena apa-apa tapi karena aku malu karena tadi tanganku gemetaran. Ketika aku
sudah pergi aku bari nyadar kalau tempat kameraku ketinggalan, akhirnya aku pun
kembali ke ruang transit lagi dengan gaya sok cool padahal nahan malu. Sudahlah, yang penting aku seneng. Tentu saja
setelah itu aku unggah fotonya di BBM, twitter, dan facebook. Sing penting eksis to ya.
Mulanya ada mention seperti ini |
Kemudian Bang Fuadi menambahkan mantion @Meinafebri dalam twitnya, aaaaaakkkkk!!!! |
Jeng jeng jeng jeeeeeng :D |
hehe.. emang hebat pak Anwar, waktu itu launching buku di kampusku min, di ruang kelas.. tp berhubung aku blom baca bukunya jadi aku cuek,, foto2 tp lupa
BalasHapusyoiiih yi, tak kenal maka tak sayang, buktine koe juga salah nyebut nama ;p
HapusSip...critane. bkn seru kisahnya tp bagus gaya bahasa penyampaiannya. Keep writting!!!
BalasHapusSip...critane. bkn seru kisahnya tp bagus gaya bahasa penyampaiannya. Keep writting!!!
BalasHapus