Source |
Selamat datang di kehidupan yang sebenarnya. Selamat
datang pada fase baru dalam hidupmu. Saat teman-temanmu satu per satu
menghilang, saat mereka mulai mencari pekerjaan dan mencoba untuk berdikari. Saat
diriku hampir terjebak pada rutinitas yang memuakkan. Saat pembicaraan di
telepon tidak lagi membahas soal si anu yang punya gebetan si itu, tapi sudah
pada tataran, “Ayo temenin aku ke job
fair”. Saat kita mulai membutuhkan orang yang membuat kita berdiri tegap
seperti pohon kurma yang berada di gurun, pohon yang selalu memberikan buah yang
manis walau dilempari batu.
Akhir-akhir ini hal yang sedikit “aneh” seringkali
terlintas di pikiranku. Sebenarnya untuk apa aku bekerja? Untuk apa aku
belajar? Untuk apa aku mencari bekal hidup? Untuk apa seorang ayah rela
membanting tulang dan bercucuran keringat demi menghidupi keluarganya? Apakah ia
benar-benar bekerja demi bertahan hidup? Lalu apa bedanya dengan seorang businessman yang super sibuk untuk
bekerja siang dan malam? Apakah ia hidup hanya untuk bekerja?
“Hiduplah
untuk bekerja” maka kau akan menikmati hidup ini sebagai orang yang dianggap
keberadaannya, dihargai dan diakui oleh orang lain. Bagiku “bekerja” tidaklah sesempit “hanya
sekadar mencari uang”. Berbeda kasus dengan seorang businessman yang bekerja siang malam hanya untuk mendapat
keuntungan sebesar-besarnya dengan tak mengacuhkan orang-orang di sekitarnya, itu egois. Bekerja yang sesungguhnya adalah kebermanfaatan bagi
umat. Ketika seseorang berada di tempat ia berprofesi, ia bekerja. Ketika ia
berada di rumah dengan keluarganya, ia bekerja demi menyenangkan keluarganya. Ketika
ia berada di komunitas sosial, ia bekerja mengabdikan diri demi masyarakat. Dalam
hal ini bekerja adalah sebuah gaya hidup antimalas, bekerjalah dan nikmati
duniamu sebagai insan yang bermanfaat. Ada perpektif berbeda, bahwa bekerja
dilakukan untuk menghidupi orang-orang yang ia cintai. Ketika ia bekerja maka
ia hidup. Sejatinya orang hidup adalah ketika ia bekerja, bahwa bekerja
semata-mata bukan lagi kewajiban, melainkan sebuah kebutuhan yang tak hanya
meliputi kebutuhan material, tapi juga kebutuhan spiritual. Nikmatilah hidup
bersama orang-orang yang kau cintai bahwa kebahagiaan itu tak bisa dibeli
dengan apapun maka luangkanlah waktumu.
Hidup untuk bekerja dan bekerja untuk hidup sama
saja. Malas bekerja? Lebih baik mati saja.
Ada buku berjudul "Hak untuk Malas", Me. Pengarangnya Paul Lafargue, menantu Karl Marx. Milan Kundera juga ngomongin salah satunya soal hilangnya kebiasaan malas di era modern yang membuat hidup kita kayak mesin. Dan menurut laporan sejarawan Denys Lombard, di awal perintisan perkebunan di Hindia Belanda (awal sejarah swastanisasi lahan di Indonesia, biangnya kapitalisme), orang pribumi dicap malas sama orang Belanda, meski menurut Lombard, malasnya pribumi ini adalah bentuk perlawanan terhadap otoritas yang mencekik. Gimana tanggapanmu? Apa mereka mending mati saja? Hahaha.
BalasHapusNgomong-ngomong, mengapa memakai "businessman" alih-alih "pengusaha", wahai ibu guru bahasa Indonesia?
Hahahaha. Perlawanan pribumi dengan aksi "malas" itulah cerminan bahwa ia telah "bekerja" demi negaranya.
HapusAhahaha iya Buk, isin aku.
bekerja juga merupakan kebutuhan aktualisasi diri. lalu sebatas apa wanita dalam karirnya? mengingat ia juga harus mengurus rumah tangga (ketika sudah menikah), berbakti pada suami dan kewajiban mendidik anak...
BalasHapusYup, harus seimbang dong, bisa mampir di sini >> http://meinafebri.blogspot.com/search/label/perempuan
Hapuspendapat-pendapatku tentang perempuan
setuju menurutku bekerja untuk hidup tetapi hidup tidak dapat dibeli dengan nilai rupiah...
BalasHapussalam dari bandung.