Cuma argumen dari
manusia galau, dan mungkin tak pantas disebut argumen.
Aku bukan perokok tapi bagiku tak
ada yang salah dengan seorang perokok. Dibilang apatis? tak peduli? Tapi aku
tetap saja memandang bahwa “merokok adalah sebuah hak”. Entahlah mungkin ini argumen
yang salah seiring dengan gencarnya kampanye antirokok di Indonesia bahkan di
dunia. Aku begitu paham bahwa merokok itu berbahaya. Selain bagi perokok aktif
(orang yang merokok), juga bagi perokok pasif (orang yang tidak merokok tapi
menghirup asap rokok). Aku juga begitu tahu bahwa dilihat dari sisi kesehatan,
merokok sangat merugikan bisa menyebabkan kanker dan sebagainya, asap rokok pun
dapat menyebabkan pencemaran udara yang mengakibatkan efek buruk dalam jangka
panjang. Lalu mengapa aku tak menganut paham antiperokok?
Sebagai seorang yang sudah
menyelesaikan pendidikan tinggi sekaligus perempuan yang menjadi kandidat
magister, sudah sepantasnya ia betul-betul memahami disiplin ilmu yang ia
pelajari. Sungguh sangat memalukan bila orang yang menyandang sebuah gelar
tetapi tak memiliki esensi dari gelar tersebut. Belajar tidak mungkin dimulai
dari sikap tinggi hati. Belajar dimulai dari rasa ingin tahu dan diimbangi
dengan semangat ingin maju.
Sungguh sangat memalukan bila
seorang yang bergelar tinggi tetapi sangat rendah di mata orang lain, memiliki
perilaku yang buruk dan tidak dapat dijadikan teladan. Seorang yang berpendidikan
tinggi seharusnya mampu berdikari, bekerja keras, berhati ikhlas, dan berpikir
cerdas. Ia mampu menggunakan tangannya untuk berkarya dan kakinya untuk
melangkah meraih tujuan.
Sebulan berdiam di rumah ternyata
cukup membuatku “melek” pada lingkungan sekitar, bahkan ketika aku diajak
bapakku untuk mengunjungi sebuah desa yang bernama Kasegeran. Desa itu terletak
di Kecamatan Cilongok, Kasegeran merupakan tanah tumpah darah keluarga bapak.
Desa yang cukup jauh dari keramaian kota, yah jangankan kota, dibilang “desa”
saja tempat itu masuk kategori pelosok. Bermula dari keisengan aku untuk ikut
bapak nengokin kebon si embah yang ternyata terletak di tengah hutan, alamaaak!
Untuk menjangkau tempat itu, kami harus berjalan kaki naik turun bukit (lebay)
hehe.
Selamat datang di mimpiku yang
selanjutnya. Setiap malam sebelum aku tidur aku selalu membayangkan hal-hal
yang indah sembari merencanakan apa yang akan kulakukan esok hari (maklum
pengangguran) dan malam itu, malam kedua yang membuatku tak bisa tertidur,
kenapa? Nggak tau “mungkin terlalu banyak mimpi tapi sedikit action”
Setiap apa yang kita lakukan
harus memiliki tujuan, setiap tujuan harus disertai dengan motivasi. Tanpa motivasi,
seringkali kita melalaikan apa tujuan kita yang sebenarnya. Motivasi itu
seperti tanaman yang jika dirawat, disiram dan dipupuk dengan benar pasti akan
tumbuh dengan subur dan menghasilkan serta bermanfaat. Ya Allah, semoga
motivasi ini bisa menghidupi hidupku dan hatiku, semoga Engkau selalu menjadi
tujuan dalam hidupku. Jernihkanlah hatiku ya Rabb.
Sebuah anugerah yang luar biasa jika kita mampu membawa anak
yatim ke dalam rumah kita. Rumah – rumah yang dicintai Allah ialah
rumah yang di dalamnya terdapat anak yatim yang dimuliakannya.
Masuk surga adalah kesuksesan paling tinggi yang
diraih oleh orang-orang yang beriman. Bagaimana pula dengan menemani
Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam di dalamnya? Itu adalah derajat yang akan diraih oleh orang-orang yang menyantuni anak yatim.
Guru yang biasa-biasa saja
memberi tahu. Guru yang baik menjelaskan. Guru yang bagus menunjukkan bagaimana
caranya. Tetapi guru yang luar biasa menginspirasi murid-muridnya (William
A. Ward ).
Dunia ibarat
sebuah pakaian yang utuh, guru adalah penjahit yang bertugas merancang dan
menyulam kain “manusia” dengan benang “pendidikan”. Pakaian yang indah akan
tercipta dari sulaman benang yang kuat dan berkualitas. Dunia dengan pendidikan
yang berkualitas akan menciptakan manusia yang cendekia dengan kearifan.
Setiap orang
di dunia dilahirkan dengan amanah yang ada di pundaknya. Ketika Tuhan meniupkan
roh dalam jasad manusia, ia telah hidup dan amanah yang ada dipundaknya merupakan
kewajiban yang sepantasnya ia jalankan. Amanah pada diri manusia bukanlah beban
yang harus ia jalankan dengan bahu membungkuk karena dianggap memberatkan.
Amanah itu adalah “ibadah” yang harus dijalankan oleh setiap manusia.
Dalam
setiap sujud di akhir salat malamku aku selalu meminta pada Allah
agar
aku diberikan ilmu yang bermanfaat.
Menuntut ilmu adalah tuntutan seumur hidup
Apa itu ilmu yang bermanfaat? Baru terpikirkan
setelah aku berusia 22 tahun. Selama ini yang kutahu, aku kuliah di jurusan
kependidikan karena ingin jadi pendidik, kenapa? Ya pengin aja, pendidik itu
kerjaan yang mulia choy, selain dapat penghasilan juga dapet pahala, trus nggak
terlalu sibuk, jadi bisa ngurusin keluarga. Sesimpel itu kah? “Iya.” Tapi jawaban itu terbantahkan
dengan disempurnakan oleh penjelasan tentang “Ilmu yang bermanfaat” apa itu?
Kata
Bapak Ahmad Syaifudin
Beliau adalah dosenku, usianya masih
muda hanya enam tahun di atasku. Waktu itu aku lembur di kantor jurusan. Beliau
memanggilku dan dua temanku, aku kira urusan apa, ternyata beliau memberikan
nasihat yang sangat berharga bagi kami, beliau bahkan sangat mendukung kami
untuk melanjutkan S-2. Kata Pak Ahmad, carilah ilmu sebanyak-banyaknya, dan
buatlah ilmu itu menjadi bermanfaat.
“Janganlah kau terlalu bangga
waktu kau wisuda karena pintu gerbang menuju pengangguran akan terbuka lebar
untukmu”
Pernyataan itu mungkin berlaku
bagi sebagian mahasiswa yang belum mapan, termasuk saya. Akhir April kemarin
saya diwisuda dan resmi menyandang gelar Sarjana Pendidikan, wuiiiih calon guru
nih ye. Sekarang dua minggu sudah berlalu dan aku pun sudah mulai jenuh dengan
kegiatan sehari-hariku. Yah aku sekarang nggak punya status, bukan mahasiswa
lagi, kalau ada lomba udah nggak bisa ikutan lagi, padahal “lomba” adalah mata
pencaharianku selama kuliah hehehehe.
Kalau orang bilang aku
pengangguran sebenarnya nggak sepenuhnya betul sih, soalnya kemarin awal Mei ceritanya
aku udah ikut tes masuk pascasarjana, tapi kamu tau kapan tahun ajaran baru
akan dimulai?? 3 September 2012!! Yap lalu apa yang akan aku lakukan selama
tiga setengah bulan di rumah???
Dulu sempet punya banyak rencana
nih (teori)
1.Jadi guru bimbel.
Ide yang bagus juga, selain buat ngembangin skill mengajar, bisa buat ngisi waktu
luang, dan nambah uang saku. Tapi masalahnya, “apa ada bimbel yang mau nerima tenaga pengajar cuma tiga bulan aja?”
kayaknya sih rata-rata ada tanda tangan kontrak, kalau keluar sebelum setahun
terus suruh denda gitu. Lagian aku pikir nanti seumur hidup aku juga bakal
ngabisin waktuku buat mengajar, ini kesempatan aku buat cari kerjaan lain.
Apaan tuh? Mapres = Mahasiswa Depresi??? Tentu saja
bukaaaan.
Mapres = Mahasiswa Berprestasi? Wuiiih top banget pastinya. Sepakatkah?
Kita renungkan baik-baik ya.
Setiap tahunnya
DIKTI (di bawah Kemendikbud) mengadakan ajang atau kompetsisi bergengsi bagi
mahasiswa, kompetisi itu adalah “Pemilihan Mahasiswa Berprestasi” (Mapres). Dalam
pemilihan Mapres (tapi kami lebih sering memlesetkan jadi “mahasiswa depresi”
atau “mahasiswa prangas-prenges”) ada empat aspek penilaian, aspek-aspek
tersebut adalah karya ilmiah 30%, kegiatan ekstrakurikuler (pemberkasan) 25%,
bahasa Inggris 25%, dan IPK 20%. Proses pemilihan mahasiswa berprestasi melalui
beberapa tahap, dimulai dari tingkat jurusan (biasanya diambil dua perwakilan),
berlanjut ke tingkat fakultas (biasanya dua perwakilan), lanjut lagi di tingkat
universitas (satu perwakilan). Juara 1 Mapres universitas lalu mengirimkan
berkas dan karya ilmiahnya ke Jakarta dan dipilihlah 15 besar Mapres yang nantinya
dinobatkan sebagai Mapresnas. Keren banget kan?
Jadi Mapres
tentu tak mudah. Yaelah dari judulnya aja udah keren banget kali, tapi
sebenarnya untuk apa sih Mapres itu? Well jujur aja, awal masuk kuliah, salah
satu targetku ya jadi Mapres itu. Gimana gak semangat, waktu itu sebelum kenal
dengan siapa-siapa di “random university”, hal pertama yang dikenalkan
kakak-kakak panitia waktu OSPEK ya pemenang Mapres, pamflet-pamflet yang
bersebaran di seluruh penjuru kampus pun isinya ucapan selamat bagi Mapres,
jalan-jalan ke depan dekanat pun ada baliho gede banget yang bertuliskan ucapan
selamat tuk Mapres. Waktu itu tiap detik ospek, kami selalu dicekoki dengan
Mapres, seolah-olah predikat Mapres seolah predikat yang puuaaaling keren
seantero jagad kampus. Heuheuheu.
Masih ingat
banget waktu itu tahun 2008, Mapres universitas adalah Mas Nindya Candra
kemudian 2009 Mas Eko Heriyanto (sekarang jadi ayah alay bagiku), tahun 2010
Mbak Ryan Marina. Gimana kami nggak ngiler, kami mahasiswa cupu yang nggak
punya modal apa-apa tiba-tiba bermimpi jadi Mapres. Akhirnya padatahun 2011 aku
“dipaksa” untuk daftar Mapres, ya Cuma modal nekad walau aku tahu tak mungkin
jadi juara 1 karena tiap tahun Mapres Unnes itu dari Jurusan Bahasa Inggris. Ya
Alhamdulillah bisa masuk 3 besar fakultas. Rasanya???? Banggakah???