Kamis, 24 Mei 2012

My Dream : Rumah Pendidikan


Selamat datang di mimpiku yang selanjutnya. Setiap malam sebelum aku tidur aku selalu membayangkan hal-hal yang indah sembari merencanakan apa yang akan kulakukan esok hari (maklum pengangguran) dan malam itu, malam kedua yang membuatku tak bisa tertidur, kenapa? Nggak tau “mungkin terlalu banyak mimpi tapi sedikit action”

Bukan dari Keluarga yang Kondusif
Dan malam itu aku masih teringat jelas cerita salah satu muridku (bisa dilihat tentang  Gerakan Lampeng Mengajar). Bermula dari rasa penasaranku bertanya pada masing-masing muridku, “Kalau malam tidurnya sama siapa?” mereka pun berebut ingin menjawab pertanyaanku, tapi ada satu jawaban yang mengundang rasa penasaranku. Jawaban itu berasal dari bibir mungil seorang bocah yang baru delapan tahun, ia kelas 2 SD, aslinya kelas 3 SD tapi dia tidak naik kelas.
“Aku tidur dengan nenekku karena ibuku sudah nggak pernah mengurusiku.”  
“Kenapa?”
“Ibuku sudah tidak bisa apa-apa lagi, dia sudah tidak sehat bahkan sudah tak ingat aku lagi.”
“Ibumu sudah tak ingat apa-apa? Dia sudah tak mengenalmu lagi?”
“Iya, dia hanya bisa tiduran dan sakit kepala, sedangkan bapakku yang dulunya tukang ojek sekarang sudah pergi, pergi bersama pacarnya yang baru.”
“Bapakmu ninggalin keluargamu? Lalu yang membiayaimu siapa?”
“Iya bapakku sudah tak mengurusi kami lagi, sekarang yang menjadi tulang punggung keluarga adalah nenekku, ia seorang pedagang Nagasari. Tiap pagi pukul empat dia ke pasar untuk menjajakan dagangannya. Kemarin bapakku sempat pulang dan hanya memberiku uang 50 ribu, dia kembali untuk mengatakan bahwa ia akan menikah dengan pacarnya.”

Betapa miris perasaanku, bagaimana seorang anak dapat bekembang dengan baik, jika contoh nyata dan terdekat yang seharusnya menjadi teladan baginya rupanya tidak bisa menjadi penuntun yang baik.

Kisah Dua Anak Kecil dan Sekeranjang Kue
Lain lagi kisah muridku yang ini. Dua orang anak kelas dua SD yang seringkali menjajakan kue. Sekeranjang kue itu bukanlah kue mereka, mereka hanya menjajakan kue buatan tetangga. Dua bocah itu berkeliling kampung setiap sore. Pernah suatu ketika aku membeli kue dari mereka. Satu kue dijual sangat murah yaitu 500 rupiah, rasanya? Lumayan enak, apalagi jika disajikan hangat dengan secangkir the hijau, hmmmm. Anehnya kedua anak yang berjualan itu rupanya tidak bisa berhitung, mereka sangat kebingungan untuk menghitung kembalian uangku. Saat aku bertanya berapa upah yang mereka dapatkan? Ternyata jika kue yang mereka bawa tidak cukup laku, mereka hanya dibayar uang 500 rupiah dan sepotong kue. Semoga setiap peluh, tenaga serta langkah-langkah kecil kalian mendapat berkah dari Allah.
Rumah Pendidikan
Seperti yang pernah aku ceritakan bahwa lingkungan rumahku bukanlah lingkungan yang melek pendidikan. Orang-orang tidak bisa berpikir untuk maju dan memperbaiki kehidupan mereka. Dalam batin mereka, sekali miskin tetap miskin, untuk apa belajar toh nantinya tetap miskin. Padahal menurutku, kehidupan itu dapat diperbaiki. Caranya dengan “pendidikan”.
Tiba-tiba terbesit di pikiranku untuk membangun “rumah pendidikan”. Yah terinspirasi dari perkataan ibuku bahwa kelak aku tidak boleh pergi, tinggallah di Ajibarang (what? Lihat saja nanti). Aku ingin sekali menyulap tempat tinggalku menjadi “rumah” bagi mereka. Masalah yang mereka alami sebenarnya adalah “tinggal di lingkungan yang buruk dan ber-SDM rendah”, itu sebabnya “rumah pendidikan” akan menjadi solusi menciptakan atmosfer yang baik bagi mereka. Ini dia desainnya :
Ini desain fiktif sih, kecuali kalau aku berhasil membeli rumah tetangga-tetanggaku, hehe.
Di “rumah pendidikan” itu, mereka akan bermain di lapangan bermain, mengaji di musala, membaca di taman baca, dan belajar bersama-sama di ruang belajar. Hal yang paling penting mereka harus selalu diberi motivasi dan dukungan.
Siapa yang mengasuh?
Tentu saja saya dan keluarga saya (termasuk suami, uhuk!). Saya akan bekerja di universitas negeri dan swasta di Purwokerto sebagai dosen Bahasa dan Sastra Indonesia. Saya berangkat kerja bersama suami saya yang wakil bupati Banyumas (ngayal, wkwk), sebelumnya saya mengantar anak-anak saya berangkat sekolah di SD Al Irsyad Purwokerto. Pulang bekerja, suami menjemput saya dan anak saya. Setelah sampai di rumah, kami pun mejalanakan rumah pendidikan kami. Jika kami masih di Purwokerto, anak-anak yang berada di Ajibarang tetap diperbolehkan untuk mengunjungi rumah kami, karena ada mbah putri dan mbah kakung yang sudah pensiun tetap stand by di rumah, hihihihii (geli sendiri kalo bayangin itu :D )

Semoga terwujud ya, amiin

4 komentar:

  1. uhuk,. sampe lely bilang "jangan panggil aku calon istri, takutnya gak jadi kyak mbak mena,." ohhh,. wkwk Semangat mine,. ada yang bisa aku bantu??

    BalasHapus
  2. suka dengan kata-kata ini.. >> Padahal menurutku, kehidupan itu dapat diperbaiki. Caranya dengan “pendidikan”.

    BalasHapus