Selamat datang di mimpiku yang
selanjutnya. Setiap malam sebelum aku tidur aku selalu membayangkan hal-hal
yang indah sembari merencanakan apa yang akan kulakukan esok hari (maklum
pengangguran) dan malam itu, malam kedua yang membuatku tak bisa tertidur,
kenapa? Nggak tau “mungkin terlalu banyak mimpi tapi sedikit action”
Bukan dari Keluarga yang Kondusif
Dan malam itu aku masih teringat
jelas cerita salah satu muridku (bisa dilihat tentang Gerakan Lampeng Mengajar). Bermula dari rasa penasaranku bertanya pada masing-masing muridku, “Kalau
malam tidurnya sama siapa?” mereka pun berebut ingin menjawab pertanyaanku,
tapi ada satu jawaban yang mengundang rasa penasaranku. Jawaban itu berasal
dari bibir mungil seorang bocah yang baru delapan tahun, ia kelas 2 SD, aslinya
kelas 3 SD tapi dia tidak naik kelas.
“Aku tidur dengan nenekku karena
ibuku sudah nggak pernah mengurusiku.”
“Kenapa?”
“Ibuku sudah tidak bisa apa-apa
lagi, dia sudah tidak sehat bahkan sudah tak ingat aku lagi.”
“Ibumu sudah tak ingat apa-apa? Dia sudah tak mengenalmu lagi?”
“Iya, dia hanya bisa tiduran dan
sakit kepala, sedangkan bapakku yang dulunya tukang ojek sekarang sudah pergi,
pergi bersama pacarnya yang baru.”
“Bapakmu ninggalin keluargamu? Lalu yang membiayaimu siapa?”
“Iya bapakku sudah tak mengurusi
kami lagi, sekarang yang menjadi tulang punggung keluarga adalah nenekku, ia
seorang pedagang Nagasari. Tiap pagi pukul empat dia ke pasar untuk menjajakan
dagangannya. Kemarin bapakku sempat pulang dan hanya memberiku uang 50 ribu,
dia kembali untuk mengatakan bahwa ia akan menikah dengan pacarnya.”
Betapa miris perasaanku, bagaimana seorang anak dapat bekembang dengan baik, jika contoh nyata dan terdekat yang seharusnya menjadi teladan baginya rupanya tidak bisa menjadi penuntun yang baik.
Kisah Dua Anak Kecil dan Sekeranjang Kue
Lain lagi kisah muridku yang ini.
Dua orang anak kelas dua SD yang seringkali menjajakan kue. Sekeranjang kue itu
bukanlah kue mereka, mereka hanya menjajakan kue buatan tetangga. Dua bocah itu
berkeliling kampung setiap sore. Pernah suatu ketika aku membeli kue dari
mereka. Satu kue dijual sangat murah yaitu 500 rupiah, rasanya? Lumayan enak,
apalagi jika disajikan hangat dengan secangkir the hijau, hmmmm. Anehnya kedua
anak yang berjualan itu rupanya tidak bisa berhitung, mereka sangat kebingungan
untuk menghitung kembalian uangku. Saat aku bertanya berapa upah yang mereka dapatkan? Ternyata jika kue yang mereka
bawa tidak cukup laku, mereka hanya dibayar uang 500 rupiah dan sepotong kue. Semoga
setiap peluh, tenaga serta langkah-langkah kecil kalian mendapat berkah dari
Allah.
Rumah Pendidikan
Seperti yang pernah aku ceritakan
bahwa lingkungan rumahku bukanlah lingkungan yang melek pendidikan. Orang-orang
tidak bisa berpikir untuk maju dan memperbaiki kehidupan mereka. Dalam batin
mereka, sekali miskin tetap miskin, untuk apa belajar toh nantinya tetap
miskin. Padahal menurutku, kehidupan itu dapat diperbaiki. Caranya dengan “pendidikan”.
Tiba-tiba terbesit di pikiranku
untuk membangun “rumah pendidikan”. Yah terinspirasi dari perkataan ibuku bahwa
kelak aku tidak boleh pergi, tinggallah di Ajibarang (what? Lihat saja nanti). Aku ingin sekali menyulap tempat tinggalku
menjadi “rumah” bagi mereka. Masalah yang mereka alami sebenarnya adalah “tinggal
di lingkungan yang buruk dan ber-SDM rendah”, itu sebabnya “rumah pendidikan”
akan menjadi solusi menciptakan atmosfer yang baik bagi mereka. Ini dia
desainnya :
Ini desain fiktif sih, kecuali kalau aku berhasil membeli rumah tetangga-tetanggaku, hehe. |
Di “rumah pendidikan” itu, mereka
akan bermain di lapangan bermain, mengaji di musala, membaca di taman baca, dan
belajar bersama-sama di ruang belajar. Hal yang paling penting mereka harus
selalu diberi motivasi dan dukungan.
Siapa yang mengasuh?
Tentu saja saya dan keluarga saya
(termasuk suami, uhuk!). Saya akan bekerja di universitas negeri dan swasta di
Purwokerto sebagai dosen Bahasa dan Sastra Indonesia. Saya berangkat kerja bersama
suami saya yang wakil bupati Banyumas (ngayal, wkwk), sebelumnya saya mengantar
anak-anak saya berangkat sekolah di SD Al Irsyad Purwokerto. Pulang bekerja, suami
menjemput saya dan anak saya. Setelah sampai di rumah, kami pun mejalanakan
rumah pendidikan kami. Jika kami masih di Purwokerto, anak-anak yang berada di
Ajibarang tetap diperbolehkan untuk mengunjungi rumah kami, karena ada mbah putri
dan mbah kakung yang sudah pensiun tetap stand by di rumah, hihihihii (geli
sendiri kalo bayangin itu :D )
Semoga terwujud ya, amiin
uhuk,. sampe lely bilang "jangan panggil aku calon istri, takutnya gak jadi kyak mbak mena,." ohhh,. wkwk Semangat mine,. ada yang bisa aku bantu??
BalasHapusnggapleki ah :P
BalasHapussuka dengan kata-kata ini.. >> Padahal menurutku, kehidupan itu dapat diperbaiki. Caranya dengan “pendidikan”.
BalasHapushehe itu cuma argumen saya :D
Hapus