Kamis, 12 Juli 2012

Laki-laki Biasa yang Luar Biasa



Mungkin inilah yang dinamakan cobaan. Kemarin tanggal 8 Juli, kakakku baru saja kehilangan calon anaknya karena kakak iparku keguguran. Jika tangisku dapat kutukar dengan kembalinya ia calon keponakanku maka aku rela menangis semalaman, tapi apa dikata? Semua sudah suratan-Nya. Kami yakin inilah yang terbaik bagi kami, semoga kakak kami segera mendapat penggantinya.
Hati ini sungguh berdesir ketika kemarin sore aku mengunjungi kakak iparku. Kakakku dengan telatennya memijat kaki istrinya, memakaikannya kaus kaki, dan tak letih menghiburnya. Aku bangga dengan kakakku atas segala ketegarannya.
Kakakku memang orang yang biasa, bahkan jika kau mengenalnya, sungguh ia orang yang sangat-sangat biasa, tapi kau tahu, aku sudah menemukan sesuatu yang luar biasa darinya, bahkan jika kau tak melihatnya.
Coba kamu baca cerita ini, aku tulis dulu waktu tahun 2010 terinspirasi dari cerpen Asma Nadia.

Laki-laki Biasa yang Luar Biasa
Keluargaku begitu terkejut ketika aku mengatakan bahwa aku mau menikah dengan Mas Sabit.
“Dina, kamu cantik, pintar, multitalenta, dan berjilbab. Kamu bisa mendapatkan lelaki mana pun yang kamu mau,” ucap ibu.
“Apa benar kamu sudah mantap untuk menerima lamaran Sabit? Dia tak tampan tidak jelek pula, gajinya pun pas-pasan, bahkan gajimu jauh lebih besar daripada gajinya. Aku tidak bisa melihat satu kelebihan yang menonjol pada diri Sabit,” sambung ibu yang masih meragukan keputusanku.
Tapi dia pria yang soleh, bunda.
Aku paham, orang tua pasti ingin melihat anaknya hidup bahagia, dan mereka pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Perkara keputusanku untuk menerima lamaran Mas Sabit sungguh mengguncangkan keluargaku. Kata mereka aku cantik, pandai pula. Sejak kecil aku sudah aktif mengikuti lomba-lomba ya MTQ, cerdas cermat, olimpiade matematika, debat bahasa Inggris. Mereka mengira suatu saat nanti aku akan menikah dengan seorang direktur atau paling tidak pejabat, tapi ternyata bukan itu yang ku mau. Aku mau Mas Sabit. Seorang laki-laki yang berparas biasa, berpenghasilan biasa, dan memiliki kepandaian yang biasa saja.
Lima tahun pernikahanku dengan Mas Sabit, dia sungguh tak pernah memarahiku sama sekali, pribadinya sangat lembut bahkan dia sangat menyayangiku dan Azka putri semata wayang kami. Tatapan teduhnya sungguh mendamaikan hatiku, lewat sentuhan tangannya saja aku sudah bisa merasakan betapa lembut hatinya. Selama itu juga keluargaku masih mempermasalahkan kenapa aku mau menikah dengan Mas Sabit. Ketika kumpul keluarga, aku masih melihat mereka berbisik-bisik jika melihatku bersama Mas Sabit. Bukan hanya itu, saat aku jalan-jalan ke mall, mengajak Mas Sabit ke kantor atau bertemu dengan teman-temanku, mereka terus saja berbisik-bisik, bahkan kadang-kadang di depanku pun mereka berani berdengung seperti bunyi lebah.
“Wah, suaminya kok biasa saja ya, padahal mbak Dina cantik lo, manajer pula. Lihat tuh suaminya dari wajahnya saja sudah kelihatan kalau dia tidak punya banyak uang.” Namun aku mencoba bersabar, mungkin mereka belum mengenal Mas Sabit, belum tau betapa hangat kasih sayang dan betapa dia sangat mencintai Tuhannya, aku, anak kami dan orang tuanya.
Tujuh tahun berlalu, dan aku mengandung anak kedua. Mas Sabit makin rajin bekerja. Dia  sering lembur demi mendapatkan uang tambahan untuk kami. Padahal aku sudah bilang, gajiku mungkin sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga (sungguh tanpa mengurangi kewibawaan Mas Sabit sebagai kepala keluarga, tapi dia tak pernah tersinggung. Dia selalu mengerti apa yang ku maksud tanpa harus ku jelaskan) Namun Mas Sabit masih terus bekerja dengan sangat giat.
Hari itu perutku terasa sangat mulas, ya kandunganku memang sudah berumur 9 bulan dan waktunya aku melahirkan. Mas Sabit dengan begitu setia menungguiku, tangannya tak pernah lepas dari genggamanku. Sembilan jam berlalu tapi kandunganku belum ada perkembangan, bahkan masih pembukaan satu. Di saat seperti itu, keluarga dan teman-temanku belum ada yang datang satu pun, hanya ada Mas Sabit, dia yang selalu menyemangatiku.
Janin yang belum juga lahir, membuat dokter memutuskan untuk melakukan operasi. Aku pun di pindah ke ruang operasi, Mas Sabit masih setia menjagaku. Dan pada saat itulah keluargaku baru datang untuk menjengukku.
Varises di rahimku dan pendarahan hebat, membuat kondisiku semakin melemah. Alhamdulillah putra keduaku selamat. Tapi hal buruk terjadi padaku. Aku koma.
Entah berapa lama aku tak sadarkan diri, yang jelas selama itu aku hanya bisa melihat bayangan putih, lantunan surat cinta-Nya yang dibacakan suamiku, dan genggaman erat tangan Mas Sabit.  Hingga suatu saat aku bisa membuka mataku, dan orang pertama yang ku lihat adalah suamiku, Mas Sabit Alamsayah. Dia tampak begitu mengantuk, sepertinya sudah lama sekali dia tak bercukur dan merawat diri, badannya kurus kering.
Kata ibu, aku koma tiga bulan dan selama itu Mas Sabit selalu berada disisiku. Dia meninggalkanku hanya untuk sholat, mandi, makan dan mengantar Azka sekolah. Alhamdulillah Mas Sabit mendapat izin dari kantornya, mengingat eksistensi dan kinerja suamiku yang tak diragukan lagi. Saat itu adalah hal terburuk dalam hidupku. Aku tak lagi bisa menggerakan kakiku. Ya kejadian itu membuatku lumpuh.
Mas Sabit, suamiku, ayah dari anak-anakku ternyata masih begitu menyayangiku. Aku tidak melihat satu perubahan pada dirinya atas kejadian yang menimpaku. Aku masih merasakan betapa dia menyayangiku. Mas Sabit selalu menyemangatiku yang merasa sangat jatuh, karierku hancur, aku yang tak bisa menjadi ibu rumah tangga yang sempurna dan kecantikanku yang memudar. Tapi ternyata tidak berlaku bagi suamiku. Dia masih memperlakukanku laksana putri. Katanya, aku perempuan paling cantik dan sempurna di dunia.
Mas Sabit tak pernah malu membawaku kemana-mana. Tiap hari dia memandikanku, menggendongku ke teras rumah untuk menghirup udara pagi, mengajakku ke taman untuk melihat Azka dan putra keduaku yang tumbuh sehat. Dan orang-orang masih saja berbisik. Tapi aku yakin bukan bisikan seperti dulu yang ku dengar. Kali ini sungguh lain, yang mereka bisikan adalah “sungguh betapa setia sang suami, lihat keringatnya bercucuran karena dia menggendong bayi dan mendorong kursi roda untuk istrinya.” Mudah saja bagi Mas Sabit untuk mencari istri lagi. Tapi dia tidak begitu.
Ya, kali ini mareka sadar, keluargaku pun paham, mengapa aku memilih Mas sabit, lelaki biasa yang luar biasa. Aku sangat menyayanginya, sungguh mencintainya karena Allah.

(Terinspirasi cerpen karangan Asma Nadia yang berjudul “Cinta Laki-laki Biasa” dalam buku kumpulan cerpen Emak Ingin Naik Haji)

(Shafira, 8 Mei 2010. 9.56 AM)

Jika ingin membaca cerpen asli dan gambar yang aku sertakan, bisa dilihat di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar