Mungkin inilah yang
dinamakan cobaan. Kemarin tanggal 8 Juli, kakakku baru saja kehilangan calon
anaknya karena kakak iparku keguguran. Jika tangisku dapat kutukar dengan
kembalinya ia calon keponakanku maka aku rela menangis semalaman, tapi apa
dikata? Semua sudah suratan-Nya. Kami yakin inilah yang terbaik bagi kami,
semoga kakak kami segera mendapat penggantinya.
Hati ini sungguh
berdesir ketika kemarin sore aku mengunjungi kakak iparku. Kakakku dengan
telatennya memijat kaki istrinya, memakaikannya kaus kaki, dan tak letih
menghiburnya. Aku bangga dengan kakakku atas segala ketegarannya.
Kakakku memang orang
yang biasa, bahkan jika kau mengenalnya, sungguh ia orang yang sangat-sangat
biasa, tapi kau tahu, aku sudah menemukan sesuatu yang luar biasa darinya,
bahkan jika kau tak melihatnya.
Coba kamu baca
cerita ini, aku tulis dulu waktu tahun 2010 terinspirasi dari cerpen Asma
Nadia.
Laki-laki Biasa yang Luar Biasa
Keluargaku begitu
terkejut ketika aku mengatakan bahwa aku mau menikah dengan Mas Sabit.
“Dina, kamu cantik,
pintar, multitalenta, dan berjilbab. Kamu bisa mendapatkan lelaki mana pun yang
kamu mau,” ucap ibu.
“Apa benar kamu
sudah mantap untuk menerima lamaran Sabit? Dia tak tampan tidak jelek pula,
gajinya pun pas-pasan, bahkan gajimu jauh lebih besar daripada gajinya. Aku
tidak bisa melihat satu kelebihan yang menonjol pada diri Sabit,” sambung ibu
yang masih meragukan keputusanku.
Tapi dia pria yang soleh, bunda.
Aku paham, orang tua
pasti ingin melihat anaknya hidup bahagia, dan mereka pasti menginginkan yang
terbaik untuk anaknya. Perkara keputusanku untuk menerima lamaran Mas Sabit
sungguh mengguncangkan keluargaku. Kata mereka aku cantik, pandai pula. Sejak
kecil aku sudah aktif mengikuti lomba-lomba ya MTQ, cerdas cermat, olimpiade
matematika, debat bahasa Inggris. Mereka mengira suatu saat nanti aku akan
menikah dengan seorang direktur atau paling tidak pejabat, tapi ternyata bukan
itu yang ku mau. Aku mau Mas Sabit. Seorang laki-laki yang berparas biasa,
berpenghasilan biasa, dan memiliki kepandaian yang biasa saja.
Lima tahun
pernikahanku dengan Mas Sabit, dia sungguh tak pernah memarahiku sama sekali,
pribadinya sangat lembut bahkan dia sangat menyayangiku dan Azka putri semata
wayang kami. Tatapan teduhnya sungguh mendamaikan hatiku, lewat sentuhan
tangannya saja aku sudah bisa merasakan betapa lembut hatinya. Selama itu juga
keluargaku masih mempermasalahkan kenapa aku mau menikah dengan Mas Sabit. Ketika
kumpul keluarga, aku masih melihat mereka berbisik-bisik jika melihatku bersama
Mas Sabit. Bukan hanya itu, saat aku jalan-jalan ke mall, mengajak Mas Sabit ke
kantor atau bertemu dengan teman-temanku, mereka terus saja berbisik-bisik,
bahkan kadang-kadang di depanku pun mereka berani berdengung seperti bunyi
lebah.
“Wah, suaminya kok
biasa saja ya, padahal mbak Dina cantik lo, manajer pula. Lihat tuh suaminya
dari wajahnya saja sudah kelihatan kalau dia tidak punya banyak uang.” Namun
aku mencoba bersabar, mungkin mereka belum mengenal Mas Sabit, belum tau betapa
hangat kasih sayang dan betapa dia sangat mencintai Tuhannya, aku, anak kami
dan orang tuanya.
Tujuh tahun berlalu,
dan aku mengandung anak kedua. Mas Sabit makin rajin bekerja. Dia sering lembur demi mendapatkan uang tambahan
untuk kami. Padahal aku sudah bilang, gajiku mungkin sudah cukup untuk memenuhi
kebutuhan keluarga (sungguh tanpa mengurangi kewibawaan Mas Sabit sebagai
kepala keluarga, tapi dia tak pernah tersinggung. Dia selalu mengerti apa yang
ku maksud tanpa harus ku jelaskan) Namun Mas Sabit masih terus bekerja dengan
sangat giat.
Hari itu perutku
terasa sangat mulas, ya kandunganku memang sudah berumur 9 bulan dan waktunya
aku melahirkan. Mas Sabit dengan begitu setia menungguiku, tangannya tak pernah
lepas dari genggamanku. Sembilan jam berlalu tapi kandunganku belum ada
perkembangan, bahkan masih pembukaan satu. Di saat seperti itu, keluarga dan teman-temanku
belum ada yang datang satu pun, hanya ada Mas Sabit, dia yang selalu
menyemangatiku.
Janin yang belum
juga lahir, membuat dokter memutuskan untuk melakukan operasi. Aku pun di
pindah ke ruang operasi, Mas Sabit masih setia menjagaku. Dan pada saat itulah
keluargaku baru datang untuk menjengukku.
Varises di rahimku
dan pendarahan hebat, membuat kondisiku semakin melemah. Alhamdulillah putra
keduaku selamat. Tapi hal buruk terjadi padaku. Aku koma.
Entah berapa lama
aku tak sadarkan diri, yang jelas selama itu aku hanya bisa melihat bayangan
putih, lantunan surat cinta-Nya yang dibacakan suamiku, dan genggaman erat
tangan Mas Sabit. Hingga suatu saat aku
bisa membuka mataku, dan orang pertama yang ku lihat adalah suamiku, Mas Sabit
Alamsayah. Dia tampak begitu mengantuk, sepertinya sudah lama sekali dia tak
bercukur dan merawat diri, badannya kurus kering.
Kata ibu, aku koma
tiga bulan dan selama itu Mas Sabit selalu berada disisiku. Dia meninggalkanku
hanya untuk sholat, mandi, makan dan mengantar Azka sekolah. Alhamdulillah Mas
Sabit mendapat izin dari kantornya, mengingat eksistensi dan kinerja suamiku
yang tak diragukan lagi. Saat itu adalah hal terburuk dalam hidupku. Aku tak
lagi bisa menggerakan kakiku. Ya kejadian itu membuatku lumpuh.
Mas Sabit, suamiku,
ayah dari anak-anakku ternyata masih begitu menyayangiku. Aku tidak melihat
satu perubahan pada dirinya atas kejadian yang menimpaku. Aku masih merasakan
betapa dia menyayangiku. Mas Sabit selalu menyemangatiku yang merasa sangat
jatuh, karierku hancur, aku yang tak bisa menjadi ibu rumah tangga yang
sempurna dan kecantikanku yang memudar. Tapi ternyata tidak berlaku bagi
suamiku. Dia masih memperlakukanku laksana putri. Katanya, aku perempuan paling
cantik dan sempurna di dunia.
Mas Sabit tak pernah
malu membawaku kemana-mana. Tiap hari dia memandikanku, menggendongku ke teras
rumah untuk menghirup udara pagi, mengajakku ke taman untuk melihat Azka dan
putra keduaku yang tumbuh sehat. Dan orang-orang masih saja berbisik. Tapi aku
yakin bukan bisikan seperti dulu yang ku dengar. Kali ini sungguh lain, yang
mereka bisikan adalah “sungguh betapa setia sang suami, lihat keringatnya
bercucuran karena dia menggendong bayi dan mendorong kursi roda untuk
istrinya.” Mudah saja bagi Mas Sabit untuk mencari istri lagi. Tapi dia tidak
begitu.
Ya, kali ini mareka
sadar, keluargaku pun paham, mengapa aku memilih Mas sabit, lelaki biasa yang
luar biasa. Aku sangat menyayanginya, sungguh mencintainya karena Allah.
(Terinspirasi cerpen karangan Asma Nadia
yang berjudul “Cinta Laki-laki Biasa” dalam buku kumpulan cerpen Emak Ingin
Naik Haji)
(Shafira, 8 Mei 2010. 9.56 AM)
Jika ingin membaca cerpen asli dan gambar yang aku sertakan, bisa dilihat di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar