Ketika membuka catatan lama, tiba-tiba menemukan ini, semoga bermanfaat.
Waktu itu
aku mendapat amanah untuk menjadi panitia dalam sebuah seminar. Sudah begitu
lama aku menunggu pembicara utama datang. Setelah cukup kepanasan tiba-tiba
datang seorang ukhti mendekatiku, dia menjabat tanganku erat. Waktu itu aku
masih terbengong dan tak menyangka karena dia adalah pembicara utama dalam
seminar itu. Dia berjalan dengan dibantu tongkat penyangga, kakinya terlihat
begitu lemah dan dengan ukuran kaki yang berbeda satu dengan kaki lainnya. Dia
cacat. “Subhanallah” dalam hatiku bertutur.
Senyumnya
mengembang dia berkata, “Perkenalkan nama saya Mimin. Siapa nama Mbak?”
“Nama saya
Fibri,” jawabku singkat. Kulihat dia meninggalkanku menuju podium utama. Ketika
Mimin melangkah di depan peserta seminar (tentu dengan dibantu oleh panitia)
hampir semua peserta seminar berdecak, “Subhanallah.” Mungkin para peserta tidak
menyangka bahwa pembicara utama adalah seseorang yang penuh dengan
keterbatasan.
Mimin
membuka seminarnya dengan suara yang mantap. Sungguh dengan kekurangannya,
tidak berpengaruh apapun pada kemampuannya yang luar biasa.
“Mungkin
ketika teman-teman melihat saya, teman-teman kaget dan tidak menyangka bahwa
ternyata MImin adalah seorang yang cacat, tapi sungguh saya tidak pernah
menyesalkan kekurangan saya kepada Allah, saya malah bersyukur karena lewat cobaan
yang dianugerahkan kepada saya, maka orang lain dapat mengingat Allah.”
“Waktu
saya kuliah (bahkan orang-orang tak menyangka bahwa aku bisa kuliah), mereka tidak
ada yang menduga bahwa saya bisa menaiki lantai tiga, ya walaupun selalu
dibantu oleh teman-teman saya. Teman-teman secara bergantian menuntun saya
untuk menaiki tangga. Lagi-lagi orang lain yang melihat saya mengucapkan asma
Allah.”
“Pun sama
halnya waktu saya menjadi lulusan terbaik di Fakultas Psikologi, orang-orang
benar-benar tidak menyangka, mereka mengucapkan nama Allah ketika mengetahui
bahwa lulusan terbaik adalah seseorang yang cacat.”
“Ketika
usiaku sudah matang dan waktunya untuk menikah, tiba-tiba seorang pemuda normal
yang sholeh mengkhitbah saya dan saya pun menikah dengannya. Ketika walimah
orang-orang kembali mengucapkan nama-Nya dan tak menduga bahwa saya pun bisa
menikah dan berumah tangga.”
“Setelah
beberapa tahun pernikahan, saya pun hamil. Ketika melahirkan orang-orang
kembali menyebut kebesaran Allah karena saya bisa melahirkan normal dengan
selamat dan anak yang tidak cacat.”
“Sungguh
apabila lewat kekurangan saya, cacat seumur hidup saya, maka orang lain dapat
mengingat-Nya, dan bersyukur atas nikmat-Nya. Maka saya ikhlas. Karena apabila Allah
sudah berkehendak maka segalanya akan menjadi mudah.”
Subhanallah
Allahuakbar
Dia pun
tersenyum penuh kasih padaku, senyum yang sangat teduh dan mendamaikan hatiku.
Keterbatasan
bukanlah alasan untuk mengembangkan diri, apabila seseorang yang “terbatas”
saja bisa, seharusnya itu menjadi motivasi dan kekuatan bagi kita. Setiap
kemauan pasti ada jalan, sesungguhnya setelah kesulitan pasti ada kemudahan.
Hadapi hidup ini dengan berpikir poisitif dan khusnudzon atas segala
ketetapan-Nya. Semua pasti akan menjadi indah apabila kita ikhlas dalam
menapaki jalan kehidupan ini, walaupun kadang ada kerikil tajam yang menghalangi
dan melukai kaki kita, pasti itu hanya ujian. Dan Allah tidak akan memberikan
cobaan yang tidak bisa dilampaui oleh hamba-Nya.
Mataku
mengkristal, jauh di lubuk hati tersimpan semangat membara.
*Terinspirasi
dari catatan Asma Nadia
(Shafira,
13 Mei 2010. 9.52 AM)
mantaps...aku hampir nangis baca ini..^_^
BalasHapuscup cup cup XD
BalasHapus