Source |
Hanya sebuah cerita
Permintaan maafku tulus dari lubuk hatiku yang
paling dalam. Sungguh bukan karena alasan “Maaf
aku nggak bisa karena kamu terlalu baik untukku”, hanya saja alasanku terlalu
sulit untuk aku katakan. Mungkin ini yang benar-benar dinamakan kerumitan.
Tujuh tahun yang lalu, awal dari segala
penyesalanku. Mengapa waktu itu aku dengan bangganya dan merasa begitu
girangnya ketika berhasil berkenalan denganmu. Seorang laki-laki cerdas, alim, calon pemimpin. Look like perfect
one for me.
Pertemuan itulah yang awal penyesalanku, ketika
aku membalasi satu demi satu pesanmu dan menjawab panggilan jarak jauhmu setiap
pagi. Yah, tak ada yang kurasa, tidak lebih dari seorang kakak, sahabat, bahkan
idola bagiku. Tapi apa dikata, kau terus tebarkan pesonamu, aku kira hanya aku
ternyata selama ini aku salah
Pagi kau telepon aku, telepon dia, dan dia, serta
dia. Malam kau temui aku, temui dia, dan dia, serta dia. Jaring yang kau tebar
sungguh terlalu banyak dan garang.
Sejak itulah. Panas setahun, telah kau hapus
dengan hujan sehari.
Tahun demi tahun berlalu. Kau melalang-buana pada bunga, bahkan surat cintamu padanya pun
kubaca. Sungguh tak ada rasa lain yang tersirat di hati ini selain, “Betapa
hidung belangnya kau.”
Tahun pun berganti. Kau tiba-tiba datang menghampiri,
menawarkan benih cintamu yang telah kau sebar kemarin kepada sahabat-sahabatku,
apakah kau anggap aku hanya serep yang kau pakai ketika roda kendaraanmu rusak
tertancap paku di tengah jalan? Ataukah kau anggap aku hanyalah pilihan
terakhirmu?
Tidak hanya sekali, dua kali, lima kali, tapi
sungguh berulang kali kau mencoba luluhkan hati. Mungkin ini yang namanya hati
yang sudah membaja. Segala macam perjuanganmu serasa sia-sia. Maaf.
Maaf jika pernah tak mau menerima kedatanganmu.
Maaf jika hanya menemui lima menit setelah
perjalananmu dari Jakarta-Semarang.
Maaf jika hadiah-hadiah yang kau beri aku berikan
pada orang lain.
Maaf jika tak mau mengangkat teleponmu.
Maaf. . .
Jika kau pernah bilang bahwa aku seperti seorang
anak yang bermain layang-layang yang semudah itu menarik-ulur benang, maka aku
tak akan lagi.
Mungkin ini terlalu klise jika kau anggap aku
hanya melihat dari kaca spion yang kecil. Namun, jika kau memahamiku bahwa
perasaan perempuan itu adalah kerumitan dan aku tak mau menjadi rumit. Kamu adalah
laki-laki terumit dalam hidupku.
Maaf, maaf,
maaf.
Semoga kamu
mendapatkan yang terbaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar