Tentang Mimpi jadi Penulis
source |
Apa itu penulis? Apakah orang
yang hanya iseng-iseng menulis (seperti aku) bisa disebut sebagai penulis? Ah terlalu
lajak kedengarannya. Berdasarkan kajian morfologi, penulis memiliki makna orang
yang menulis. Tapi, entahlah rasanya makna itu masih kurang lengkap, aku
menulis tapi aku belumlah pantas dipandang sebagai seorang penulis.
Kawanku, tiap kali aku
berjalan-jalan ke toko buku, tempat yang kali pertama aku hampiri adalah
jajaran best seller. Terbesit angan-angan
bahwa “suatu saat nanti karya-karyaku
akan abadi di sana.” Kau tahu, paling lama sebulan sekali aku mengunjungi
toko buku, walau hanya sekadar melihat-lihat saja. Berjalan-jalan di sana jauh
lebih menyenangkan dari tempat apa pun di penjuru pusat perbelanjaan.
Ketika aku kelas XII ibuku pernah
berkata, “Belajarlah untuk menulis dan jadilah seorang penulis.” Semenjak itu
aku berusaha untuk menulis, apa pun itu bentuknya, entah curhat galau artikel
yang cuma copy-paste dan comot
sana-sini aaaah apalah itu yang jelas
aku harus konsisten untuk menulis, dan itu terjadi sampai saat ini.
Kali ini aku akan menceritakan
kegalauanku padamu, apa itu? Tahukah kamu selama ini aku belum tahu betul tentang
kriteria tulisan yang baik. Mungkin terdengar konyol. Dulu aku kuliah di Jurusan
Pendidikan Bahasa Indonesia, tentu saja aku tahu apa saja indikator penilaian tulisan
yang baik. Namun, aku berpikir, belum tentu buku yang memuat tulisan yang baik
menurutku kemudian dianggap baik menurut orang lain. Belum tentu tulisan yang
baik berdasarkan indicator penilaian kemudian dianggap baik oleh masyarakat
kemudian laris dibaca atau dibeli bukunya. Berbicara soal tulisan, aku akan
lebih fokus membahas tulisan seperti esai, prosa, puisi, drama, dan
tulisan-tulisan lain yang argumentatif.
Hati-hati dengan Apa yang Kamu Baca
Menurutku, apa yang kita baca akan
berpengaruh besar dengan apa yang kamu tulis. Aku sangat suka membaca buku
tentang motivasi dan sejenisnya. Alhasil, karya-karyaku hanya seputaran itu,
entah dari gaya bahasa maupun topik tulisan.
Mungkin sangat terlambat untuk aku
menyadarinya, tapi sudahlah ini lebih baik dari pada tidak sama sekali. Saat
ini, aku hanya ingin menulis dengan cerdas. Dengan kata yang mampu membuat kamu
berpikir jauh lebih dalam dari sekadar (maaf) buku motivasi. Kecerdasan sebuah
tulisan akan muncul ketika pembaca mampu memiliki pola berpikir baru. Tulisan yang
mampu memunculkan gagasan-gagasan baru bagi pembacanya. Tulisan yang bahkan
merupakan negasi dari kebaikan tetapi sebenarnya merupakan suatu kebaikan. Tulisan
yang tidak hanya menyuguhkan kalimat, “Jika kamu berusaha maka kesuksesan ada
di tanganmu,” yang tidak lagi diragukan bahwa jika kita berusaha pastilah akan
sukses, dan jika itu tidak ditulis pun semua orang akan tahu.
Pernahkah kau berpikir bahwa
sejahat-jahatnya tokoh dalam sebuah cerita sebenarnya adalah sisi religius yang
berbeda. Bagaimana mungkin kita belajar tentang kebaikan ketika kita tak tahu
mana hal yang buruk, bahkan peran pelacur pun dapat menjadi sebuah sisi yang protagonis.
Hal itu juga terjadi pada tulisan, kadang orang awam menganggap bahwa itu
hanyalah negasi dari kebaikan atau hal-hal diluar pikiran kita bahkan hal
sepele yang tak pernah terlintas di akal sehat tapi tulisan itulah kecerdasan
yang sebenarnya, dia mengajakmu untuk berpikir menemukan kebaikan. Kawanku, tak
usah kamu terkejut bahwa diksi yang
paling seusai untuk menggambarkan suatu keadaan adalah bangsat dan brengsek. Itu
bukanlah diksi yang saru, mungkin saja diksi itu adalah kata paling tepat untuk
menggambarkan suatu keadaan.
Penulis cerdas belum tentu dapat
menulis dengan cerdas. Aku memang bukan orang yang cerdas, bahkan tidak bisa
dibilang sebagai penulis, apalagi penulis yang cerdas. Setidaknya meskipun aku
bukan penulis, aku akan berusaha dan belajar untuk menulis dengan cerdas. Menulis
dari sudut yang tak terlihat oleh orang lain. Tulisan cerdas yang menuntun pada
kebenaran sejati, tapi apakah ada kebenaran yang mutlak?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar