“Bahagia, sedih, keberterimaan, bahkan
penolakan adalah ritme kehidupan yang biasa dialami oleh setiap manusia,” ucap
kawanku waktu itu. Sebuah warung kopi adalah saksi, mungkin terlalu dini untuk
membicarakan tentang perpisahan.
Kawan saya mungkin terlalu legawa dengan
urusan perpisahan. “Cinta adalah anugerah dari Tuhan, itu yang membuat saya
merelakan istri saya dengan lelaki itu.”
Hal ini membuat saya cukup speechless. Namun, inilah yang mengingatkan
saya pada perkataan Umar Kayam di “Sri
Sumarah dan Bawuk” (1975), tentang sikap “nrimo”
nya wong Jowo. Sumarah atau
pasrah, nrimo ing pandum. Sebuah
keputusan untuk menjalani kehidupan sesuai seirama dengan alunan Tuhan. Kayam
memang sengaja menjelmakan Sri Sumarah sebagai simbol wong Jowo yang penuh dengan kepasrahan dan keberterimaan.
Berbicara tentang keberterimaan, Herman Hesse
pernah mengungkapnya dalam “Siddharta”. Perjalanan adalah hakikat kehidupan
yang sebenarnya. Pencarian jati diri menemukan kedamaian spiritual adalah
puncak kebahagiaan sejati. Hingga tibalah pada sebuah titik bahwa keberterimaan
menjadi kulminasi kebahagiaan dan kedamaian hati. Menerima apa yang
dianugerahkan Tuhan, dengan apa pun wujud anugerah itu, yang bahkan bisa
dilihat orang lain sebagai bencana.
Prinsip keberterimaan itulah yang saat ini
sedang saya renungi sungguh-sungguh dalam segala ketidakpastian hidup ini. Bisa
jadi, ini hanya sebuah pemikiran perempuan usia 23 yang masih labil saja. Ada
beberapa hal yang tidak usah kita pikirkan dengan begitu serius, seperti : masa
depan. Sebab tak ada yang tahu apa yang akan terjadi kecuali Tuhan, bukankah
begitu? Seperti halnya kita memikirkan, “Apakah esok hari saya masih bernapas?”
pertanyaan seperti itu tak pantas kita pikirkan dengan sungguh-sungguh pada
hari ini, sebab itu sudah menjadi urusan Tuhan. Sumarah? Ya. Ikhtiar dan doa lah yang bisa kita lakukan. “Mengapa aku
harus berdoa? Mungkinkah sebab pikiran dan hatiku tak cukup untuk menampung
kehidupan?”