Kampoeng Kopi Banaran, Bawen 29 Mei 2014.
Seorang perempuan muda yang sedang hamil satu setengah bulan sedang duduk bersamaku sambil menikmati semilir angin di bawah pepohonan. Namanya tidak jauh beda dengan namaku, hanya selisih satu huruf, namaku Meina dan nama perempuan itu Neina. Kami adalah rekan kerja, usianya hanya terpaut empat bulan lebih tua dari aku tetapi waktu kuliah S-1 dia adalah kakak tingkatku dan kami pun pernah berada di organisasi yang sama.
“Dik, saat ini aku benar-benar merasakan makna persahabatan,” ujarnya padaku.
“Maksudnya Mbak?” tanyaku balik.
“Saat kita jauh dengan orang tua, suami, keluarga, di situlah kita hanya punya sahabat yang bisa diandalkan. Aku punya seorang sahabat dan baru kali ini aku menganggapnya seperti keluargaku sendiri. Kenapa? Karena dia sangat setia, perhatian, dan aku benar-benar tidak pernah merasa sendiri bila dengannya.”
“Oh iyakah Mba, senang ya punya sahabat seperti itu,” sambungku.
“Iya Dik, bahkan dia adalah orang yang paling sering aku ceritakan pada keluargaku. Orang yang paling bapakku hafal adalah dia, begitu juga dengan ibuku yang merasa sangat senang ketika mengenal dan bercakap-cakap dengannya,” ucapannya terpotong. Dia berhenti sejanak lalu menatapku. Entahlah tiba-tiba jantungku berdetak lebih kencang.
“Kamu tahu siapa orang yang sedang aku ceritakan?”
Aku terdiam, mungkin mukaku sudah memerah.
“Itu kamu Dik. Aku tak pernah menyesali apa pun yang pernah kamu perbuat. Meskipun kamu suka galau dan patah hati, kamu yang sangat lemah di urusan asmara karena susah move on, padahal sudah ratusan kali aku mengingatkanmu untuk mencoba mencintai orang lain, tapi kamu tak pernah mendengarkanku, entahlah tapi kamu pintar, baik, dan visioner. Apa pun yang kamu perbuat, kebodohan, ke-alay-anmu, sifat ngeyelmu selalu membuat aku tersenyum dan bisa membuatku memaafkan semuanya.”